"Mitos" tentang UN

Posted by EduwaUNJ on 15.28
Berawal dari opini Kreshna Aditya, Inisiator Bincang Edukasi denga judul Kuda Mati Bernama Ujian Nasional dimuat di Media Indonesia, Senin, 15 Oktober 2012. Ir. Sukemi Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media, mencoba untuk meredam setiap pernyataaan yang dilontarkan Kreshna yang ia anggap sebagai Mitos yang Keliru tentang UN lewat Media Indonesia , 23 Oktober 2012. namun mitos tersebut menghasilkan Tanggapan atas artikel Mitos yang Keliru tentang UN oleh Ir. Sukemi staf khusus Mendikbud  yang ditulis oleh Prof. Daniel M. Rosyid.

  Kuda Mati Bernama Ujian Nasional



Suku Indian Dakota mengenal sebuah peribahasa yang berbunyi, “Apabila engkau sadar sedang menunggangi kuda yang sudah mati, maka turunlah.” Kita tentu berpikir, peribahasa apa ini, bukankah hal tersebut sudah jelas? Siapa yang mau tetap menunggangi kuda mati?
Pada kenyataannya lazim kita temui dalam dunia pemerintahan, bisnis dan pendidikan, banyak orang yang seharusnya sudah sadar bahwa sedang menunggangi kuda mati namun, bukannya turun, ia malah melakukan hal-hal yang absurd.
Dalam dunia pendidikan, logika kuda mati ini terlihat pada kengototan pemerintah menjalankan sistem Ujian Nasional yang terus menuai kontroversi. Ada dua masalah mendasar dalam sistem Ujian Nasional yang diterapkan saat ini.
Masalah pertama adalah penempatannya sebagai high-stake standardized test. Ujian standar yang bersifat hidup-mati bagi bagi siswa, guru, sekolah, bahkan pejabat Diknas daerah. Sifat ujian seperti ini menyebabkan pendidikan di sekolah tereduksi menjadi sekadar persiapan untuk lulus Ujian Nasional. Sekolah menjadi tak ubahnya bimbingan tes.
Masalah mendasar kedua adalah kualitas soal Ujian Nasional yang menekankan pada kemampuan kognitif rendah. Ujian Nasional dipenuhi dengan soal-soal dengan hapalan dan hitungan rumit, namun dengan tingkat penalaran rendah. Tak heran saat pemerintah membanggakan nilai Ujian Nasional yang naik dari tahun ke tahun, nilai siswa-siswa kita justru terpuruk di tes pemetaan berskala internasional yang lebih mengutamakan penalaran. Semisal di tes PISA terakhir untuk Matematika, 50% siswa kita hanya mencapai level 1 (terendah), 25% berikutnya mencapai level 2, lalu tidak ada satu pun yang mencapai level 5 dan 6 (tertinggi).
Tak kurang para praktisi pendidikan, pakar SDM, para anggota DPR dan Wantimpres telah menyuarakan penolakan pada Ujian Nasional. Bahkan Mahkamah Agung pun telah mengeluarkan putusan menghentikan Ujian Nasional sampai pemerintah memastikan keadilan distribusi layanan pendidikan. Sayangnya, ketika banyak pihak telah menyerukan pada pemerintah bahwa Ujian Nasional adalah kuda yang sudah mati, pemerintah tak memilih turun darinya namun malah melakukan hal-hal yang absurd.
Misal, para petinggi Kemendikbud berulang kali menyatakan bahwa: “Anak-anak tidak akan belajar bila tidak dipaksa. Ujian Nasional adalah alat rekayasa sosial memaksa anak belajar. Proses belajar mengajar di sekolah tak akan berjalan bila tak ada Ujian Nasional.” Dalam analogi kuda mati, pemerintah malah membeli pecut yang lebih besar untuk mengancam si kuda mati dan penunggangnya. Bukannya menyadari bahwa pendidikan kita telah gagal membuat siswa senang belajar, namun pemerintah malah menjadikan belajar sebagai keterpaksaan bagi anak-anak kita.
Mendikbud pernah menyatakan bahwa konsep Ujian Nasional adalah yang terbaik secara akademik. Entah bagaimana caranya membela sebuah uji standar untuk kognitif rendah sebagai yang terbaik secara akademik. Ini seperti menurunkan standar kategori kuda pacuan sedemikian rendah sehingga kuda mati bisa termasuk ke dalamnya.
Sering juga dikatakan bahwa Ujian Nasional sudah baik, hanya pelaksanaannya yang masih penuh kecurangan yang perlu diperbaiki. Tidak demikian. Ujian Nasional bermasalah secara mendasar. Kecurangan adalah konsekuensi dari penempatan Ujian Nasional sebagai ujian berisiko tinggi bagi semua yang terlibat di dalamnya. Mengganti kulit kuda mati yang sudah bopeng-bopeng dengan kulit baru yang mulus tak akan membuatnya menjadi kuda pacu yang dapat berlari.
Baru-baru ini pemerintah juga menyatakan akan mengintegrasikan Ujian Nasional sebagai tes masuk Perguruan Tinggi. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah demi efisiensi.  Namun efisiensi tak seharusnya mengorbankan efektivitas. Penolakan telah disuarakan sebelumnya oleh kalangan Perguruan Tinggi yang meragukan kredibilitas Ujian Nasional.
Pada dasarnya ujian untuk kelulusan proses belajar, ujian untuk pemetaan distribusi kualitas pendidikan dan ujian untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah tiga macam ujian yang memiliki format dan sifat berbeda. Menggabungkan ketiga ujian ini menjadi satu akan menghasilkan termometer rusak yang tidak menggambarkan apa-apa. Hal ini layaknya mengumpulkan beberapa kuda mati dan berharap larinya akan lebih kencang, lalu menyatakan bahwa kuda mati ini juga lebih hemat biaya daripada kuda hidup karena tak perlu diberi makan.
Alasan lainnya adalah untuk mengurangi tingkat stress siswa karena tak perlu ujian dua kali. Benarkah? Belum tentu, karena dengan demikian Ujian Nasional akan memiliki risiko semakin tinggi bagi siswa. Analoginya, bila dulu siswa harus balap mobil dua kali di jalan raya, maka nanti siswa cukup balap mobil sekali saja… tapi di pinggir jurang!
Terakhir, pemerintah saat ini sedang sibuk mempersiapkan perubahan kurikulum nasional yang akan diterapkan mulai tahun 2013. Kabarnya kurikulum baru nanti akan memberi penekanan lebih pada pendidikan karakter dan juga membuat proses belajar lebih menyenangkan. Ini adalah niatan perubahan yang baik.
Namun perubahan kurikulum sebaik apapun akan percuma apabila di ujungnya tetap diletakkan proses evaluasi yang hanya menguji kognitif rendah dan diposisikan bersifat high-stake bagi pelaku pendidikan (siswa, guru, sekolah). Proses persekolahan tetap akan bersifat teaching-to-the-test. Tanpa reposisi Ujian Nasional, kurikulum sebaik apapun pada tataran kebijakan, hanya akan berubah menjadi Kurikulum Berbasis Ujian Nasional pada penerapan di lapangan.
Yang perlu diingat oleh pemerintah, ketika banyak pihak menyuarakan penolakan terhadap kuda mati bukan berarti mereka menolak naik kuda hidup. Mengkritik Ujian Nasional bukan berarti anti terhadap segala macam bentuk ujian. Justru peran evaluasi dalam pendidikan sangatlah penting untuk mengarahkan dan memperkaya proses pembelajaran, apabila dirancang dan dijalankan dengan benar. Oleh karena itu diperlukan penataan ulang terhadap sistem dan model evaluasi dalam pendidikan kita.
Tempatkan kembali Ujian Nasional sesuai fungsinya, yaitu pemetaan distribusi kualitas pendidikan yang tak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa ataupun “reward and punishment” untuk guru, sekolah dan daerah. Lepaskan sifat high-stake dari Ujian Nasional karena tak membawa efek positif bagi pembelajaran namun malah mengerdilkannya. Jangan letakkan Ujian Nasional di ujung persekolahan agar ada kesempatan perbaikan kualitas sesudah pemetaan dilakukan.
Kembalikan wewenang menentukan kelulusan siswa kepada para pendidik di sekolah sesuai amanat UU Sisdiknas dan roh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Tingkatkan kemampuan guru di sekolah untuk menjalankan evaluasi pembelajaran bersifat otentik yang mendorong proses pengembangan diri berkelanjutan, bukan karbitan.
Bukankah semua ini sulit untuk dilakukan? Tentu saja. Menunggangi kuda hidup yang sehat dan kuat memang lebih sulit daripada menunggangi kuda mati. Namun bukankah menunggangi kuda mati tak akan membawa kita ke mana-mana?
Menurut teori gaya pengasuhan [parenting style] yang sangat relevan dengan dunia pendidikan, sifat otoriter pemerintah dalam memaksakan prakonsepsi tentang Ujian Nasional jelas menunjukkan rendahnya kontrol dan minimnya kehangatan [warmth]. Pemerintah laksana orangtua yang lepas kendali atas emosi dan hanya menimbang kebutuhan ijazah untuk anak-anaknya agar cepat bisa bekerja.
Kuda mati tak akan mampu membawa siapa pun, bahkan satu langkah ke depan. Membiarkan anak, guru, dan sekolah tetap dalam pelana kuda mati sama artinya dengan menghilangkan harapan dan mimpi siapa saja untuk berkelana sesuai dengan cita-cita yang mereka idamkan. Jelas sekali kita membutuhkan kuda hidup yang baru. Laksana para koboi, membiarkan siswa, guru, dan sekolah mencoba menaklukkan kuda baru tersebut agar bisa ditunggangi sesuai harapan dan arah yang mereka inginkan.
Bagaimanapun juga, usaha mendorong pemerintah untuk mengevaluasi dan mereposisi Ujian Nasional tampaknya kini akan membutuhkan perjuangan yang lebih besar. Beberapa waktu lalu Mendikbud mengeluarkan pernyataan, “ Ujian Nasional sudah sah keabsahannya, jangan diganggu, tinggal kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.” Maka pertanyaan itu pun kembali terngiang: quo vadis pendidikan Indonesia? ***

Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi dan Media
MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2012
 
http://www.bincangedukasi.com/wp-content/uploads/2012/10/Sukemi-01.jpeg
TULISAN Saudara Kreshna Aditya berjudul ‘Kuda Mati Bernama Ujian Nasional’ di Media Indonesia (15/10) menambah satu lagi mitos keliru tentang ujian nasional (UN) yang berkembang di masyarakat. Dengan maksud untuk memberikan tanggapan atas tulisan tersebut, artikel ini mengemukakan beberapa mitos yang santer di publik, tapi sesungguhnya mitos yang keliru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memandang setiap opini yang dilontarkan masyarakat sebagai bagian dari partisipasi publik untuk kemajuan pendidikan nasional.
Sedikitnya ada sembilan mitos keliru tentang UN yang berkembang di publik. Harus diakui, ada dua kutub berbeda tentang UN, yang menentang dan setuju. Itu kenyataan dan pemerintah tentu harus memilih satu di antaranya dengan pijakan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Hal pertama tentang UN yang keliru dipahami terkait dengan memaknai amar putusan Mahkamah Agung (MA), sebagaimana ditulis dalam rubrik ini bahwa MA telah mengeluarkan putusan menghentikan ujian nasional sampai pemerintah memastikan keadilan distribusi layanan pendidikan.
Itu pernyataan menyesatkan dan telah berkembang menjadi mitos yang keliru. Dalam amar putusan MA, tidak ada satu kata pun yang menyatakan penghentian pelaksanaan UN.
Terkait perbaikan sarana dan prasarana, tentu akan terus berlanjut sampai kapan pun. Begitu juga dengan peningkatan kualitas guru, karena sangat menentukan kualitas murid. Karena itulah uji kompetensi dalam bentuk uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) dilakukan. Itu dilakukan untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan.
Mitos keliru kedua tentang UN sebagai satu-satunya alat untuk kelulusan. Kenyataannya, UN bukan lagi menjadi satu-satu faktor yang menentukan kelulusan. UN hanya berkontribusi pada 60% kelulusan, sisanya yang 40% berasal dari ujian sekolah. Itu pun harus disertai dengan syarat bahwa seorang siswa hanya bisa mengikuti UN bilamana telah menyelesaikan seluruh kewajiban dalam proses pendidikannya di sekolah.
Ketiga, mitos keliru yang menyatakan bahwa UN hanya menguji kemampuan kognisi siswa. Pendapat tersebut sepertinya benar semata-mata karena jawaban soal UN adalah pilihan berganda. Pertanyaannya, apakah setiap jawaban berganda itu berlandaskan kekuatan hafalan belaka? Kenyataannya tidak. Ujian dengan jawaban pilihan berganda itu juga bisa dipakai untuk mengukur kemahiran analisis dan kemampuan sintesis. Pendekatan itu pula yang ditempuh dalam UN, ada soal untuk mengukur kekuatan hafalan, ada soal menguji kemahiran analisis, dan ada pula soal untuk mengetahui kemampuan sintesis.
Keempat, mitos keliru tentang UN tiga hari menentukan seluruh proses pendidikan. Faktanya, kelulusan seorang siswa sangat bergantung pada sekolah dan dewan guru. Jika sekolah menilai seorang siswa belum layak lulus, katakanlah karena masalah moral yang melebihi tingkat kewajaran, sedangkan ia sangat pandai, pihak sekolah dapat mengambil keputusan untuk tidak meluluskan siswa tersebut. Sudah ada contoh kasus yang dilaksanakan sekolah.
Kelima, mitos keliru tentang UN yang membuat stres murid dan guru serta orangtua. Dalam proses pembelajaran, terminologi stres bukanlah berarti tekanan psikis yang mengarah ke keputusasaan, melainkan merujuk ke fakta naiknya tingkat belajar di kalangan peserta didik serta tenaga pendidikan dan kependidikan utamanya dalam menghadapi ujian.
Kenyataannya, setiap ada ujian, baik ujian sekolah maupun UN, tingkat stres tersebut naik. Hasil uji petik yang dilakukan Kemendikbud terhadap sejumlah peserta UN menunjukkan pada umumnya tingkat belajar para siswa naik sewaktu UN diselenggarakan.
Keenam, mitos UN meneror murid dan guru serta orangtua. UN merupakan bagian dari proses pendidikan dengan tujuan, antara lain, memetakan kualitas peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, dan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, sangat keterlaluan mereka yang menyamakan UN dengan terorisme.
Ketujuh, mitos tentang UN adalah termometer yang rusak. Menurut hemat kami, analogi itu tidaklah pas untuk penyelenggaraan UN. Pengibaratannya terlalu menyederhanakan realitas. UN bukanlah termometer, bukan pula barometer, melainkan multimeter. Yang hendak diukur UN mencakup sejumlah aspek yang melekat pada peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode pengajaran, serta sarana dan prasarana, yang berujung pada intervensi yang mesti dilakukan atas temuan dari multimeter bernama UN ini.
Kedelapan, mitos UN selalu bocor dan penuh kecurangan. Fakta yang ada, beredarnya kunci jawaban yang tanpa kode mata pelajaran dengan spekulasi amat tinggi dan belum tentu kebenarannya. Itu diperoleh atas pengakuan beberapa siswa SMA di Jakarta Utara, yang tidak lulus, dan mengakui mereka telah mengerjakan jawaban dari bocoran kunci jawaban yang diperoleh.
Terhadap berbagai kemungkinan tersebut, pemerintah bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara terus melakukan perbaikan-perbaikan.
Pada pelaksanaan UN 2012, Kemendikbud telah membuka posko pengaduan. Lebih dari seribuan laporan masuk ke posko. Namun, hanya 30-an laporan yang bisa ditindaklanjuti di lapangan karena pengaduan itu faktual dengan menunjukkan peristiwa dan lokus kejadiannya. Itu pun setelah dilakukan pengecekan di lapangan terhadap laporan tersebut, tidak terbukti telah terjadi kebocoran.
Kesembilan, mitos UN tidak memberi manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Harus dipahami, dalam pengambilan keputusan, diperlukan data yang mencerminkan realitas lapangan. Untuk itu, data hasil UN berperan penting sebagai multimeter. Kementerian sangat memanfaatkan data hasil UN untuk mengintervensi kebijakan. Di situlah pentingnya UN jujur. Sekolah-sekolah yang UN-nya jujur niscaya mendapatkan banyak manfaat karena Kemendikbud menjadi tahu apa yang sebenarnya diperlukan sekolah itu.
Jelaslah kiranya, dari mitosmitos tersebut, apa yang selama ini disuarakan sebagian masyarakat yang kontra terhadap UN tidak sepenuhnya benar, termasuk yang ditulis Saudara Kreshna Aditya.Pastinya, pemerintah tidak akan menutup mata terhadap berbagai masukan. Karena itu, upaya perbaikan terus-menerus dilakukan. Ada tiga hal yang terus-menerus diperbaiki agar UN kredibel. Pertama dari sisi metodologi, menyangkut pembuatan dan sistem penilaian soal; kedua, teknologi; serta ketiga, manajemen pelaksanaan.***


 
Prof. Daniel M. Rosyid
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur


Jika “myth is a false notion”, maka frasa “Mitos yg Keliru” adalah “kekeliruan yang keliru”. Mitos biasanya dipahami sebagai sesuatu yang tidak sesuai fakta. Jika sdr. Sukemi menulis judulnya dg “Mitos di sekitar UN”, ini lebih bisa dipahami.

Para pengkritik UN sudah tahu bahwa bobot UN cuma 60%. Di lapangan ini justru menimbulkan persoalan orde dua. Saat bobot UN 100%, tidak ada penipuan rapor atau Ujian Sekolah. Sekarang bongkar pasang rapor marak. Banyak pembuat kebijakan terlalu percaya diri bahwa kebijakannya akan ditaati 100%. Yang terjadi adalah kebijakannya dilawan (silent refusal) secara halus melalui penyiasatan. Stakeholders pendidikan Indonesia amat sopan, tidak memilih perlawanan secara terbuka. Dengan memilih perang gerilya, mereka punya peluang menang lebih besar. Itulah yang terjadi.

Jika UN dimaksudkan untuk memetakan kinerja pendidikan, mengapa harus setiap tahun? Mengapa harus 100% populasi sehingga begitu mahal? Ini secara statistika tidak bisa dipertanggungjawabkan. Follow up intervensinya tidak pernah dirumuskan. Bagi murid yang sudah terlanjur tidak lulus UN, tidak ada langkah intervensi yang berarti bagi dirinya, guru maupun sekolahnya. Jika hasilnya harus valid, situasi pelaksanaaanya tidak bisa situasi yang menimbulkan insentif curang. Banyak rektor menolak UN sebagai instrumen seleksi masuk karena validitasnya diragukan. Saat ini UN dilaksanakan oleh BNSP, yg kemandiriannya juga diragukan. Sebaiknya diserahkan pihak ketiga yang memiliki kompetensi evaluasi pendidikan.

Di lapangan UN adalah high stake test. Ini juga yang diharapkan oleh Kemendikbud agar murid rajin belajar dengan menambah jam belajar. Di lapangan, UN dicurangi, kelulusan diatur oleh Kepala Dinas, Kepala Sekolah, dan guru. Bahkan kecurangan ini didahului dengan simulasi atau gladi resik. Oleh karena itu kelulusan UN nyaris 100% padahal hasil UKG jeblok.

UN jelas telah membebani psikologi anak. Tanyakan saja secara langsung mereka atau orangtua mereka. Murid belajar melebihi porsi belajar yang wajar. Bak pekerja, murid harus lembur belajar. Jika UN adalah uji standar, mestinya direspons dg cara belajar yg standar. Bahkan jauh hari dari UN, sekolah sudah bekerjasama dengan lembaga bimbingan belajar untuk memberi pelajaran tambahan berbayar.
UN jelas telah meruntuhkan wibawa guru dibawah para tutor bimbingan belajar. Sebagian guru malah “menyimpan” sebagian bahan belajar untuk “dijual” di lembaga bimbingan belajar. Sangat mengherankan jika fakta segamblang ini tidak diketahui Kemendikbud.
Jelas tidak mungkin format tes multiple choice merangsang kemampuan analitik, apalagi sintetik. Jawaban benar bisa diperoleh melalui menebak. Jika analisis adalah mencari hubungan yg paling mungkin antara dua variabel atau lebih, maka soal multiple choice hanya cocok untuk analisis tingkat rendah. Analisis tingkat tinggi hanya mungkin jika jumlah soalnya 2 atau 3 untuk waktu ujian 150 menit. Tidak untuk jumlah soal 40! Untuk soal sintesis, satu soal hanya bisa diselesaikan untuk waktu 150 menit! Sintesis adalah proses reanalisis berulang, bahkan trial and errors, yg diakhiri dengan memberi rekomendasi. Yang dikembangkan adalah kreativitas, sementara jawaban yang sudah disediakan justru membunuhnya.
Pemerintah hanya membaca apa yang tertulis dalam keputusan MA, tapi gagal memahami jiwa keputusan itu. Tidak membaca yg tidak tertulis, between the lines. Pemerintah mestinya lebih rendah hati dan berjiwa besar, tidak angkuh dan merasa benar terus.
Yang terakhir, kesan “semua baik2 saja tentang UN” mengandung potensi merusak. Ini penyakit yang lazim menghinggapi para pengambil kebijakan di banyak tempat di planet ini: terlalu percaya diri. Jika evaluasi adalah bagian integral dari kurikulum, mengapa sekarang direncanakan perubahan kurikulum? Bagaimana menjelaskan perubahan kurikulum yang belum selesai, tanpa mengubah UN 2013 yang sangat padat konten yang sudah dengan percaya diri bakal diteruskan?
Perubahan kurikulum yg sedang direncanakan ini, jika benar2 akan dilaksanakan, mensyaratkan juga perubahan alat evaluasinya, yaitu UN. Jika kurikulum berubah, UN-nya tidak berubah, maka sulit untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa semua akrobat kebijakan Kemendikbud ini tidak sungguh-sungguh. Jika.perubahan kurilulum dimaksudkan agar murid benar-benar belajar sesuatu yang berharga bagi hidupnya, maka jangan sampai alat evaluasinya hanya mengukur kompetensi yang tidak berharga sama sekali.***

Categories: