Pengaruh Aufklarung terhadap Pendidikan di Indonesia

Posted by EduwaUNJ on 22.23

Pengaruh Aufklarung terhadap Pendidikan di Indonesia[1]






oleh: Siti Nurjanah

Aufklarung disebut sebagai merupakan pencerahan di Jerman, di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Gejala ini muncul di Eropa pada abad ke-18. Pada masa ini masyarakat di Eropa ingin bebas dari pengaruh gereja dan menuju ke masa pencerahan dari masa kegelapan. Ada dua aliran yang berkembang dan saling mempengaruhi saat itu, yaitu :
·           Empirisme : Aliran  ini  beranggapan bahwa  sumber  dari  segala  pengetahuan  dan  kebenaran  adalah empiri  atau  pengalaman.  Segala  sesuatu  harus  dicari  dari  bahan-bahan  yang  telah  kita peroleh  dari  pengalaman  kita  sendiri.  Paham  ini  berasal  dari  Inggris,  dipelopori  oleh Francis Bacon (1561-1626). Aliran ini kemudian lebih diperluas dan diuraikan oleh kaum empiris bangsa Inggris lainnya, seperti John Locke, Berkeley, dan Hume.
·           Rationalisme : Aliran  ini  lahir  di  Prancis  dan  Descartes  (1596-1650),  berpendapat  bahwa  sesuatu  itu dianggap  benar  jika  sesuai  dengan  akal  fikiran.  Fikiran  manusia  akan  sanggup memecahkan  segala  persoalan.  Untuk  menuju  ke  arah  kemajuan  dan kesempurnaan, ditempuh jalan fikiran yang sehat. Rationalisme  merupakan  kelanjutan  dari  perlawanan  terhadap  ajaran-ajaran  yang bersifat  dogmatis  dan  tradisi,  yang  mulai  tampak  pada  abad  ke-15  dan  ke-16.  menurut rationalisme,  pengetahuan  yang  diperoleh  dengan  jalan  pengamatan  alat  dria  (induksi) masih  diragukan  kebenarannya.  Yang  jelas  dapat  dipercaya  adalah  kenyataan,  bahwa manusia  itu  berpikir.  Ia  berpikir  dengan  akalnya,  maka  akal  budinya  itulah  yang berkuasa dalam hidupnya. Penyebab manusia berpikir tidak terletak pada manusia sendiri, tetapi pada Tuhan. Yang mengatakan  hal  itu  adalah  budi  atau  akal  kita.  Budi  itulah  yang  menetapkan  norma-norma hidup. Rationalisme menempatkan budi itu di atas wahyu Ilahi. Budi menetapkan apa yang dapat kita terima dan apa yang tidak, juga di lapangan agama.[2]
 Namun, di Indonesia istilah Aufklarung juga merupakan masa pencerahan di dalam bidang pendidikan. Pengaruh Aufklarung di Eropa menyebabkan terjadinya “Politik Etis”, sebuah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia. Politik etis ini berakan pada masalah kemanusiaan dan keuntungan ekonomi. Saat itu kondisi masyarakat Belanda banyak yang mendukung untuk mengurangi penderitaan rakyat  pulau Jawa. Kritik terhadap pemerintah Belanda telah lama dilakukan oleh Dowes Dekker dengan novelnya yang berjudul Marx Havelaar. Selain itu juga dipengaruhi oleh golongan orang-orang liberal di dalam pemerintahan belanda. Selama zaman Liberal ( 1870-1900), pengaruh kapitalisme memainkan peran, dimana Indonesia dijadikan sebagai pasar yang potensial. Untuk memperoleh keuntungan dan mengembangkan usaha yang diinginkan maka diterap
kannya “Politik Etis”. Politik Etis ini akan melahirkan generasi yang siap mengisi pos-pos industry Belanda di Indonesia. Hal ini dilakukan semata-mata keuntungan, dimana Belanda dapat mempekerjakan tenaga terdidik dan murah dalam pembayaran.  Tahun  1890-1984, Ratu Wilhemina mengesahkan kebijakan ini, dan tahun 1902, Alexander W.F Idenburg yang saat itu sebagai  Menteri Urusan Daerah Jajahan menerapkan politik etis.  Politik Etis ini terdiri dari Edukasi,Irigari, dan Emigrasi.[3]
Kebijakan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan dan perkembangan pendidikan di Indonesia. Pemerintah Belanda tidak menyadari bahwa sebenarnya politik etis ini dapat menjadi ancaman karena saat kebijakan ini diterapkan para pejuang pendidikan di Indonesia dengan cepat meresepon hingga akhirnya muncul  generasi terdidik dan melahirkan pergerakan nasional melawan penjajahan. Pada masa itu, Pemerintah Belanda banyak membuka sekolah-sekolah Belanda, seperti:
·         Pendidikan Dasar diantaranya : ELS (Europese Lagerschool) untuk bangsa Eropa, HBS (Holandsch Chineeschool) untuk orang Tionghoa , HIS (Holandsch Inlandshool) untuk bangsa Indonesia kaum bangsawan, sedangkan golongan bawah disediakan Sekolah Kelas Dua
·         Pendidikan Tingkat Menengah diantaranya , HBS (Hogere Burger School), MULO ( Meer Uitegbreit Ondewijs), AMS (Algemene Middelbarea Aschool) dan sekolah kejuruan /keguruan ( Kweek School), Normaal School.
·         Pendidikan Tinggi , diantaranya , Sekolah Tehnik Tinggi (Koninklijk Institut voor Hoger Technisch Ondewijs in Nederlandsch Indie), Sekolah Tinggi hukum (Rechschool), Sekolah Tinggi Kedokteran antara lain Sekolah Dokter Jawa, STOVIA, NIAS dan GHS ( Genneskundige Hogeschool ).[4]
Namun, sangat disayangkan dalam pengembangan pendidikan terjadi sebuah diskriminasi. Diskriminasi terjadi diantara sekolah Belanda, antara golongan Pribumi, dan golongan eropa, china, dan warga asing yang ada di Indonesia . Kelas social juga menentukan, golongan pribumi yang Priyayi lebih mendapat perhatian dibandingkan golongan dibawahnya. Tidak heran jika akhrinya banyak sekolah rakyat yang didirikan oleh para pejuang pendidikan seperti: Ki Hajar Dewantara, Kartini, Dewi Sartika, Rahma El Junusiah, Moh. Syafei dll. Sistem pendidikan Liberal menjadi landasan dalam kurikulum Belanda saat itu.











*Kadiv Kebijakan Publik Departemen Pendidikan BEM UNJ 2013




[1] Disampaikan pada diskusi internal  DEPDIK dan EDUWA @ BEMUNJ oleh siti nurjanah
[2] Dyah Kumalasari, M.Pd. Diktat pendidikan sejarah Indonesia ,Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri Yogyaakarta .
[3] M.C.Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi, 2008).,hal.327
[4] Sejarah Pendidikan di Indonesia di zaman Kolonial  melalui http://sejarah.kompasiana.com/2012/05/25/sejarah-pendidikan-di-indonesia-di-zaman-kolonialisme-459865.htm
Categories: