Kriminalisasi Pendidikan

Posted by EduwaUNJ on 12.00

"Ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan,
membudayakan, dan mengindonesiakan menghasilkan yang sebaliknya, di
situ terjadi kriminalisasi pendidikan."
Atas nama pendidikan, kita menghasilkan realitas antipendidikan.Karena itu, seperti mengingkari konstitusi, yang muncul justru tragedi Cliff Muntu dalam bentuk yang morbid; mewujudkan kriminalisasi in optima forma.

Kriminalisasi pendidikan
Kriminalisasi pendidikan terjadi jika manusia—perumus kebijakan dan pengelola pendidikan—menangani amanah dengan sikap yang salah. Kesalahan terjadi ketika yang dipercaya menangani pendidikanternyata tidak peduli falsafah tentang hakikat manusia, realitas kehidupan, dan bagaimana “ilmu sekolah” dapat berdampak positif dalam peradaban manusia.

Pandangan yang mendasari perilaku pendidik tak dibenarkan dogmatis atau spekulatif. Bahkan tidak cukup hanya dengan common sense. Indikator keberhasilannya bukan pada target, melainkan pada makna. Peserta didik adalah manusia, bukan angka. Tidak seorang pun memiliki hak moral berpretensi sebagai pendidik hanya karena kedudukannya dilindungi kekuasaan. Ketika birokrat tampil sebagai pendidik, ia harus menjadi personifikasi nilai kehidupan yang diperjuangkan. Jika tidak, ia hidup dalam kepalsuan, kalau bukan kemunafikan.
Birokrat sebagai pengelola tidak berhak memaksakan norma kehidupan kepada orang lain karena ini merampas kedaulatan eksistensial. Posisi tidak langsung terkait esensi pendidikan. Tetapi itulah pola
yang dilegitimasi. Seketika memperoleh kekuasaan manajerial, seketika itu pula ia mendadak menjadi ahli pendidikan. Dari situ berkembang kondisi yang menciptakan kriminalisasi. Untuk tampil
sebagai pendidik, ia harus lebih dari birokrat. Pendidik adalah pemegang amanah, dan mendidik berarti melaksanakannya sebagai ibadah.
Kriminalisasi terjadi kapan saja dan dapat berdampak kepada siapa saja. Karena “pendidikan” menjadi semu, dampaknya sama: sedikitnya, pencerdasan yang membodohkan. Pendidikan menjadi peristiwa tanpa makna. Presiden Yudhoyono merujuk kasus IPDN sebagai puncak gunung es. Sebenarnya, bukan hanya satu. IPDN “kebetulan” puncak yang dramatis. Masih banyak yang potensial berdampak destruktif dan tidak kurang dramatis. Semua mencuat dari gunung yang sama: panas dan ganas. Sejak konstitusi mengamanahkan pencerdasan kehidupan bangsa, secara instan kita percaya telah menjadi bangsa cerdas. Praktis, tidak ada lagi yang hirau merumuskan rujukan cerdasnya dan berbudayanya bangsa. Karena itu, kasus guru yang diketahui gemar menyepak murid, tetapi berdalih tidak bersalah karena menganggap metode primitif itu wajar dan sudah membudaya, memenuhi kriteria sebagai kriminalisasi.
Banyaknya anomali dunia pendidikan mengindikasikan kita telah salah sasaran. Kita ada di dalam tirani memecahkan kesalahan dengan kesalahan, rabun membedakan mana yang batil dan yang hak. Kita
merasa maju. Tetapi, apakah alasan waras yang dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa pencapaian pendidikan kita menggembirakan? Apakah kita berjalan di tempat, tidak berjalan, mundur, atau semakin
mundur? Kita mulai ragu. Tingkat kecerdasan kita stagnan, jika tidak semakin rendah. Ketika esensi pendidikan kita tertantang, yang kita ributkan adalah mengobok-obok sekolah. Ketika dunia mengembangkan ilmu mutakhir, kita mempertahankan ilmu jahiliyah. Baru kemarin, kita masih melihat dominasi ilmu santet yang mengancam Presiden Bush bila berani ke Indonesia.  Ilmu santet tidak pernah masuk kurikulum, apakah itu Kurikulum Berbasis Kompetensi atau lainnya. Tidak ada kurikulum yang dapat mencegah tetap suburnya ilmu santet, dan tumpukan pengetahuan abad kegelapan. Tanda-tanda ketidakcerdasan merajalela. Kalau kurikulum tidak mencerdaskan, lalu mengapa dipertaruhkan?
Tiga orde politik
Tiga orde politik (Lama, Baru, Reformasi) yang lahir dari sumber konstitusi yang sama, tetapi dengan determinasi saling menghancurkan, menghasilkan sejarah kehancuran.
Orde Baru yang menentang Orde Lama justru melembagakan kemerosotan secara sistemik, didukung kekuasaan doktriner antipedagogis. Orde Reformasi (apanya?) masih belum mampu mengubah titik nadir menjadi titik balik. Titik nadir masih menukik tajam. Apakah konsep reformatif orde ini mengenai metafisika kemanusiaan, epistemologi, dan aksiologi? Tidak jelas, kalau ada.
Kini, masyarakat memerkarakan pemerintahnya sendiri karena menilai tidak aspiratif, tidak kompeten, dan kurang komitmen! Sebanyak 34 menteri yang bergiliran mengelola pendidikan dalam waktu 62 tahun telah gagal muncul sebagai kekuatan yang sama-sama dijiwai amanah konstitusi. Bukan karena semuanya tidak kompeten dan tidak peduli. Sebaliknya, banyak di antara mereka amat pantas mengelola pendidikan karena memiliki pemahaman dan komitmen kuat.
Namun, itu menjadi tidak berarti karena menteri yang tersisa lebih tertarik pada pragmatisme politik masing-masing, tidak pada masa depan bangsa. Antara Ki Hajar Dewantoro yang politikus nasionalis dan Bambang Sudibyo yang sarjana akuntansi tidak mungkin terbentang benang merah pendidikan menuju masa depan yang jelas dan bernilai untuk dibela. Jika pencapaian pendidikan hanya begini, ini kriminalisasi dalam skala nasional.
Depdiknas menyikapi kemerosotan pendidikan dengan sebuah Renstra dan mengiklankan besar-besaran, “Capaian Renstra Depdiknas Menggembirakan”. Apa keluarbiasaannya sehingga diiklankan? Apakah karena berbagai target tahun ini melampaui target tahun lalu? Itu penting. Tetapi itu sudah seharusnya, dan biasa. Jika Depdiknas bukan departemen persekolahan, apa konsepnya tentang pendidikan berpredikat nasional? Mengapa mengutamakan target sampingan, seperti sekolah bertaraf internasional, sekolah persiapan pemenang Nobel, sekolah menjadi badan hukum pendidikan, sekolah penghasil insan kamil yang kompetitif, atau sekolah dengan pengaturan bos? Apakah prioritas pendidikan sesempit dan sedangkal target itu? Bagaimana dengan masalah fundamental dehumanisasi, dekulturisasi, dan deindonesianisasi! Atau, memang tidak penting dibandingkan realisasi badan hukum pendidikan yang kontroversial, standardisasi setengah jadi, ujian nasional yang kian konfliktif, dan obsesi berkompetisi yang tidak meyakinkan?
Lima puluh tahun dari sekarang, saat seluruh bangsa telah lengkap dicerdaskan melalui strategi dan  standar UN, apa yang pasti terjadi? Jika konsep yang salah itu diteruskan, tak mustahil jutaan anak
bangsa, sepi tetapi pasti, akan terbunuh sebelum mati. Kegairahannya, potensinya, aspirasinya, hak pribadinya, semua akan teratrofi oleh UN. Kalau ini bukan kriminalisasi pendidikan, lalu apa?
Oleh Winarno Surakhmad
Mantan Rektor IKIP Jakarta; Ketua Forum Profesional Pendidikan
Regional
Categories: