Standardized Test, Masihkah Relevan?
Posted by EduwaUNJ on 20.00
Setiap kali berdiskusi soal Ujian Nasional (UN), saya selalu saja mendengar
opini bahwa Ujian Nasional sebenarnya baik, hanya pelaksanaannya saja yang
memang masih tidak sempurna dan butuh perbaikan. Nooo… Saya sendiri termasuk
yang berpendapat bahwa UN sebagai salah satu bentuk dari standardized test (ST)
memiliki masalah bertumpuk-tumpuk, bahkan dari sisi konsep dasar pendidikan pun
bermasalah. Apa saja masalahnya? Berikut ini beberapa yang saya sadur dari
beberapa sumber di internet, terutama dari Fairtest.org.
ST tidak bersifat adil dan tidak dapat berfungsi
sebagai alat evaluasi yang bermanfaat. Wuah, posting ini sudah dimulai
dengan pernyataan yang keras. Tapi coba kita lihat. Pada dasarnya, dalam ST
seluruh siswa menjawab pertanyaan yang sama, biasanya dalam format pilihan
berganda, dan setiap pertanyaan hanya memiliki satu jawaban benar. Mereka
mendapat poin atas kemampuannya menjawab dengan cepat pertanyaan-pertanyaan
superfisial yang tidak terlalu membutuhkan pemikiran mendalam. ST tidak
mengukur kemampuan berpikir atau mencipta di setiap bidang. Umumnya kurikulum
sempit dan metode instruksi kuno lah yang digunakan.
ST tidak bersifat objektif. Ada sih bagian
yang objektif dari ST, yaitu saat proses penilaian yang dilakukan oleh
komputer. Itu saja. Yang lain sih tidak. Misalnya, proses menentukan soal mana
yang masuk tes, bagaimana menyusun kata-kata dan konten dalam soal, bagaimana
cara menentukan jawaban yang “benar”, pemilihan jenis tes, bagaimana tes
dikelola, dan bagaimana cara penggunaan hasil tesnya, semuanya adalah keputusan
manusia yang bersifat subjektif.
Hasil ST tidak terlalu bisa diandalkan. Sebuah tes hanya
bisa disebut reliable kalau kita mendapat hasil yang sama saat mengambil ujian
itu kedua kalinya. Seluruh tes pasti memiliki yang disebut “measurement error”.
Artinya, nilai seorang individu bisa bervariasi dari hari ke hari, tergantung
faktor-faktor seperti situasi dan kondisi saat tes diadakan, atau kondisi
mental dan emosional individu itu sendiri. Sering bukan kita dengar siswa yang
tertimpa kesialan sebelum menjalankan UN, entah sakit, atau ada masalah di
rumah, dan lainnya, sehingga mempengaruhi hasil ujiannya dan akhirnya menafikan
usahanya selama tiga tahun belajar di sekolah?
Hasil ST tidak menunjukan perbedaan yang nyata antar
siswa. Jelas lah. Kebanyakan ST berformat norm-referenced test, atau tes di
mana setengah siswa akan mendapat nilai di bawah rata-rata, setengahnya lagi di
atas rata-rata. Untuk membangun tes semacam ini, pembuat tes harus membuat
perbedaan kecil antar tiap orang menjadi tampak besar. Tes yang mengklaim
melakukan pengukuran yang sama pun sering memuat soal yang berbeda-beda
sehingga hasilnya beda pula. Coba ambil tes TOEFL hari ini, lalu ambil lagi
besok, nilainya pasti beda kan? Lebih seru lagi kalau ambil tes hari ini dengan
teman hasilnya beda lumayan jauh, besok pas ambil lagi bareng-bareng bisa jadi
sama nilainya. Bisakah tes semacam ini dipakai untuk menilai perbedaan
kemampuan kita dan teman kita?
ST mengandung bias. Yah, para pembuat tes sebenarnya
telah berusaha menyingkirkan bias, seperti kata-kata kasar misalnya (ingat
kasus di Sidoarjo di mana kata-kata mesum bisa masuk ke ujian sekolah?). Namun
tetap saja tidak cukup, karena banyak bentuk bias itu tidak superfisial dan
sering terlewat. Misalnya bias karena mengasumsikan pengambil tes hanya terdiri
dari budaya, ras, tingkat ekonomi tertentu. Kalau di UN misalnya bias karena
menganggap semua siswa yang mengambil tes telah melewati masa pendidikan di
sekolah dengan fasilitas yang cukup serta guru yang memadai. Lha sekolah
seperti itu ada berapa persen di Indonesia?
ST tidak merefleksikan apa yang kita ketahui tentang
cara belajar siswa. Ini bagian yang parah banget. ST didasarkan pada teori psikologi
behavioris dari abad ke… 19! Sedangkan pemahaman kita tenang cara kerja otak
dan bagaimana manusia belajar dan berpikir telah berkembang jauh. Lha kok ujian
sekolah tetap sama modelnya. Teori abad ke-19 itu mengasumsikan bahwa
pengetahuan bisa dipecah menjadi bagian kecil-kecil dan bahwa siswa belajar
pengetahuan dengan cara menyerap bagian-bagian kecil ini secara pasif. Saat ini
kita telah paham bahwa pengetahuan itu tidak dipecah menjadi kecil-kecil dan
bahwa manusia (termasuk anak-anak) belajar dengan cara menyambungkan apa yang
mereka sudah tahu dengan apa yang hendak mereka pelajari. Kalau mereka tidak
bisa menciptakan konteks dari apa yang mereka lakukan, mereka tidak akan
belajar atau mengingatnya. ST tidak mengakomodasi hal ini dan masih mendasarkan
tesnya pada proses mengingat fakta-fakta kecil dan terisolasi serta keahlian
sempit.
Tes pilihan berganda tidak dapat dipakai untuk
mengukur pencapaian penting siswa. Tes pilihan berganda sangat lemah
dalam mengukur performa siswa. Tes itu tidak mengukur kemampuan menulis,
menggunakan matematika, mencari makna saat membaca, memahami metode atau
argumentasi ilmiah, atau menangkap konsep ilmu sosial. Tes pilihan berganda
juga tidak cukup mengukur kemampuan berpikir atau menilai apa yang bisa
dilakukan seseorang dalam tugas-tugas di dunia nyata.
Hasil ST tidak membantu guru dalam mengelola
pendidikan bagi murid2nya. ST, apalagi yang berbentuk pilihan berganda,
pada awalnya tidak dirancang untuk membantu guru. Survei di kelas-kelas
menunjukkan bahwa guru tidak menanggap nilai ST dapat membantu mereka, maka
jarang pula digunakan. ST tidak menyediakan informasi yang bisa membuat guru
memahami apa yang selanjutnya harus dilakukan dengan siswanya karena hasil tes
tidak mengindikasikan cara siswa belajar maupun berpikir.
Nah, ini adalah tentang apa-apa saja yang salah pada konsep Standardized
Test. Masih ada satu posting lagi yang ingin saya sadur dari situs Fair Test,
yaitu tentang manfaat buruk ST bagi pendidikan. Artikel-artikel ini cukup
menjelaskan posisi saya yang menganggap Ujian Nasional bermasalah bahkan dari
konsep dasarnya. Belum lagi soal pelanggaran UU Sisdiknas, pelanggaran hak
anak, penghakiman sosial pada anak, serta yang paling parah, penghancuran
moral. Posisi saya tentang Ujian Nasional: Boleh tetap ada, hanya sebagai
pemetaan distribusi kualitas pendidikan Indonesia, serta tidak untuk faktor
penentu kelulusan (mau satu-satunya atau salah satunya, sama saja buruknya).
Ujian Nasional masih ok juga kalau diberlakukan seperti tes standar yang bisa
dimanfaatkan untuk masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti konsep
SAT dan ACT di Amerika, atau Ebtanas pada masa lalu. Sedangkan kelulusan siswa
seharusnya ditentukan oleh evaluasi yang dilakukan oleh guru secara terus
menerus selama proses belajarnya di sekolah.***
