Menggugat Tes Kecerdasan, Standardized Testing, dan Sekolah Unggul*

Posted by EduwaUNJ on 20.00

Pendidikan haruslah berlaku adil terhadap semua bentuk kecerdasan, karena semua bentuk kecerdasan bisa membawa kesuksesan jika dipupuk dan dikembangkan dengan baik dan secara berkelanjutan. Pakar psikologi dari Harvard University yang dikenal luas di bidang pendidikan, Professor Howard Gardner, menjelaskan bahwa kecerdasan didefinisikan sebagai sebuah kemampuan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata, atau menciptakan sebuah produk atau jasa yang dihargai dalam sebuah kebudayaan. Dengan teori kecerdasan majemuknya (multiple intelligences), ia membantah anggapan bahwa kecerdasan merupakan sebuah entitas tunggal yang pasti dan didapat secara turun temurun. Masing-masing bentuk kebudayaan memiliki bentuk-bentuk kecerdasan yang mendapat penekanan yang lebih besar. Lahirnya teori kecerdasan majemuk ini menggugat asumsi-asumsi tes kecerdasan yang ada sebelumnya, seperti halnya tes IQ. Dari perspektif historis, tes IQ yang kita kenal sekarang bersumber pada asumsi mendasar yang malah bertentangan dengan klaim objektivitas, validitas dan reliabilitas. Sebagai contoh, tes IQ mengandung bias dan cenderung diskriminatif. Selain klaim bahwa pria lebih unggul daripada wanita, asumsi yang terpelihara adalah ras Anglo-Saxon merupakan ras yang paling unggul dibanding ras-ras lainnya. 

Menurut H H Goddard, ahli psikologi yang pertama kali membawa tes IQ ke Amerika Serikat, keunggulan ini bersifat turun menurun. Namun permasalahan sebenarnya ada pada saat perancangan tes, di mana item-item yang dipilih dalam tes kecerdasan tersebut yang merupakan hal-hal yang sangat familiar dalam konteks kebudayaan para pembuat tes, namun belum tentu untuk kebudayaan lainnya. Logika sederhananya adalah mereka yang lebih familiar dengan item-item tes tentunya akan dapat menjawab dengan lebih mudah dan akurat. Tes-tes kecerdasan ini membawa pengaruh besar terhadap berbagai cara perancangan standardized testing yang kita kenal sekarang. Formatnya tes-tes ini sangat menguntungkan bentuk kecerdasan linguistik, kecerdasan logika, dan kecerdasan visual, dan tidak menguntungkan bentuk-bentuk kecerdasan lainnya, seperti kecerdasan intrapersonal, intrapersonal, kinestetik, naturalist, dan musik-ritmik. Tes IQ dan tes-tes keturunannya ternyata bias dan diskriminatif. Namun ironisnya, justru tes-tes seperti inilah yang sering digunakan sebagai penentu nasib siswa. Misalnya dalam fenomena sekolah unggulan dan non unggulan, tes-tes (biasanya matematika dan bahasa) seperti ini sering dijadikan sebagai alat penentu dalam pengelompokan para siswa ke dalam kategori unggulan dan non unggulan. 

Ada dua argumen utama yang ingin saya sampaikan. Pertama, kebanyakan siswa yang dikategorikan unggul adalah siswa yang lebih dipersiapkan dalam menghadapi tes-tes yang ada, bukan berarti mereka benar-benar unggul. Di tengah semakin menguatnya rezim-rezim ujian dan maraknya les dan bimbingan belajar, maka anak-anak dari keluarga mampu secara ekonomi akan mendapat persiapan yang jauh lebih baik daripada anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang sudah kewalahan hanya untuk membayar segala macam biaya pendidikan di sekolah . 

Kedua, ujian akhir, sebagai representasi dari standardized testing, seperti halnya Ujian Nasional, hanya memberikan potret sekilas dari sebagian kecil performa siswa. Berdasarkan teori kecerdasan majemuk, diperlukan comprehensive assessment. Berbagai riset telah membuktikan bahwa banyak anak yang cenderung lebih bisa memperlihatkan pemahaman terhadap sebuah konsep dengan pendekatan yang berbeda, seperti dengan melakukan investigasi, presentasi dan kolaborasi. Karena itu, sudah waktunya kita perlu untuk medekonstruksi pemahaman kita tentang apa itu cerdas, apa itu unggul. Karena asumsi dan cara penentuan kecerdasan dan keunggulan ternyata tidak seobjektif yang kita asumsikan. Demikian pula halnya dengan konsep sekolah unggulan dan non-unggulan. Dikotomi dan label yang menurut saya menyesatkan dan sangat diskriminatif dan menimbulkan luka psikologis yang dalam pada siswa yang mendapat label-label inferior, yang perlu waktu lama untuk sembuh, jika pun memang akhirnya sembuh. 

Ironisnya, sekolah-sekolah unggulan cenderung memiliki fasilitas dan guru-guru yang lebih bagus, sehingga memiliki kualitas pembelajaran yang relatif jauh lebih baik daripada sekolah-sekolah non-unggulan. Sementara dengan fasilitas dan kualitas guru yang seadanya, ekspektasi yang rendah terjadi diberikan untuk anak-anak yang bukan unggulan tersebut. Sistem yang ada sepertinya sudah putus harapan kepada mereka. Sebuah kenyataan pahit, anak-anak yang jauh lebih membutuhkan sarana dan prasarana belajar yang bagus untuk mengejar ketertinggalannya, justru semakin terpuruk dengan perlakuan sistem terhadap mereka. Sudahlah jatuh, tertimpa tangga pula. Kesenjangan yang tercipta pun akan semakin melebar. Ini adalah isu keadilan sosial, isu keberpihakan. Bukankah sila ke-5 Pancasila dalam konteks pendidikan akan berbunyi, ‘Keadilan sosial (pendidikan) bagi seluruh (siswa) Indonesia? Bukan cuma siswa dari keluarga mampu, atau siswa yang karena skema yang ada terkategorikan ‘unggul’, melainkan seluruh siswa Indonesia! 

Pendidikan haruslah berkeadilan dalam memfasilitasi semua potensi yang ada, termasuk mengembalikan dan mengembangkan rasa percaya diri dan memberi keadilan sosial bagi para siswa yang termarginalkan, dalam mengeluarkan sejumlah potensi yang ada dalam diri mereka, yang barangkali tidak pernah tergali, disadari, dan diapresiasi oleh sistem pendidikan yang ada. Semua potensi ini sama layaknya untuk dibina dan dikembangkan karena semuanya berpotensi untuk memajukan bangsa dan negara kita. Meminjam definisi kecerdasan dari Howard Gardner, maka pembelajaran seharusnya diarahkan pada pengembangan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah nyata, bukan memrioritaskan kepada kemampuan menjawab soal-soal ujian. Hal ini mensyaratkan siswa untuk berlatih menyampaikan suara mereka melalui pembelajaran dalam iklim demokratis yang menekankan kemampuan berpikir kritis, analitis, kreatif dan solutif. Karena itu, yang kita inginkan adalah semua putra putri bangsa Indonesia bisa ‘bicara’ dalam semua ranah kecerdasan. Tugas kita semua untuk memfasilitasi dan memberi dorongan secara berkelanjutan dan sungguh-sungguh. (Iwan Syahril)

*Tulisan ini pernah dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, 21 November 2007.