Guru sebagai Jembatan Komunikasi
Posted by EduwaUNJ on 22.14
Guru sebagai Jembatan Komunikasi
Siti
Nurjanah[1]
Guru
adalah pendidik di sekolah, semangat guru seharusnya tidak sebatas pendidik di
sekolah tetapi menjadi pendidik. Semangat pendidiklah yang membuat pendidikan
menjadi menyenangkan. Banyak cara untuk memotivasi perserta didik, salah
satunya seperti yang dilakukan oleh kepala sekolah Kobayashi di sekolah Tomoe
dalam novel Toto Chan ( Gadis Cilik di Jendela). Kobayashi menjadi salah satu aktor
yang membuat anak-anak disekolah itu termotivasi menggapai cita-citanya. Namun,
yang perlu diperhatikan dalam cerita ini adalah menjadi pendengar yang baik
bagi seorang pendidik..
Dalam
novel ini menjelaskan karakter Kobayashi merupakan sosok pendidik yang sabar
dalam mendengarkan kisah para perserta didiknya, salah satunya Toto Chan yang
selalu memiliki kisah untuk diceritakan. Kesabaran dalam mendengarkan kisah
seorang anak kecil dengan penuh imajinasi ini, sudah jarang dilakukan oleh para
pendidik terutama orang tua. Terkadang pendidik dan orang tua malas untuk mendengarkan
bahkan mengira cerita tersebut sangat membosankan. Mendengar merupakan sebuah
sarana dalam menyerap sebuah gagasan atau pesan dari seseorang. Sehingga orang
lain dapat mengetahui aspirasi yang ingin dilakukan. Dengan mendengar kita bisa
memahami makna yang terkandung dalam cerita tersebut dan dapat dipercaya oleh
orang lain.
Konsep
pendidikan di sekolah Tomoe yang dikembangkan oleh Kobayashi adalah membuat sistem pendidikan yang
menggabungkan antara yang cacat dengan
normal. Hal ini digambarkan dengan kisah teman Toto yang terkena penyakit Polio
yaitu Yasuaki-chan. Kemudian dalam pola pengajarannya membebaskan dan mandiri,
dimana anak-anak Tomoe bebas memilih mata pelajaran yang disukainya dengan
catatan ada tanggung jawab terhadap mata pelajaran tersebut. Selain itu, konsep
keseimbangan antara akademik dengan pengembangan jiwa anak-anak juga menjadi
fokus didalamnya. Sebenarnya konsep pendidikan ini menggunakan metode
pendidikan barat dimana kondisi Jepang saat itu telah bebas dari politik
isolasi. Guru disekolah tersebut juga sangat peka terhadap keluhan muridnya
saat mengalami kesulitan dalam belajar. Adanya variasi dalam kelas yang
dilakukan dengan perpindahan tempat duduk dan konsep alam yang menjadi ciri
khas pendidikan Jepang juga turut mewarnai sistem pendidikan di sekolah Tomoe.
Namun,
sebenarnya konsep tersebut juga sudah ada di Indonesia. Salah satu tokoh yang
juga menerapkan konsep tersebut dengan karakter Indonesia adalah Ki Hajar
Dewantara dalam perkataanya, yaitu: “Tut
wuri handayani (di belakang, mengikuti dan mengawasi), Ing ngarsa sung tulada (didepan
menjadi contoh), Ing madya mengunkarso (di tengah membangkitkan). Pada asas ing
ngarso sung tulada, seorang pendidik harus dapat menjadi teladan bagi perserta
didik. Pada asas ing madyo mangunkarsa, pendidikdiharapkan dapat menumbuhkan
semangat dengan memberikan motivasi. Pada asas tut wuri handayani, seorang
pendidik dituntut memberikan pengawasan terhadap perkembangan peserta didik.
Konsep-konsep keteladanan, motivasi juga sudah digambarkan dengan jelas melalui
ucapannya tersebut. Begitupun juga dengan konsep pendidikan alam dan
keseimbangan antara akademik dengan pengembangan jiwa yang dilakukan oleh Moh.
Syafei di Sekolah INS Kayu Tanam.
Konsep-konsep
pendidikan di dalam sekolah tersebut tidak akan berjalan tanpa peran pendidik
yang peka terhadap aspirasi perserta didiknya. Sebagai seorang pendidik, guru
diharapkan dapat menjadi “Jembatan Komunikasi” antara iswa dengan dunia
akademik, terhadap orang tua dan kehidupan sehari-hari sang anak didik.
Jembatan Komunikasi tersebut merupakan sebuah poin yang penting dalam
pembelajaran karena akan menghasilkan feed
back diantara keduanya. Jika ada media pembelajaran “Bercerita” seharusnya
ada bagian pembelajaran “Mendengarkan” .
Metode bercerita bagi seorang guru menjadi sebuah cara yang menarik agar
murid tertarik dengan apa yang guru jelaskan. Dengan demikian, guru juga jangan
melupakan konsep mendengar. Hal ini bertujuan agar guru dapat melihat sejauh
mana materi yang sudah dikuasai siswa bahkan perkembangan potensi perserta
didik secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Guru juga harus mengetahui
segala sesuatu yang dilakukan oleh muridnya.
Namun,
pertanyaannya sudakah hari ini guru sebagai pendidik dapat melakukannya sebagai
Jembatan Komunikasi ? Saya yakin konsep mendengarkan itu masih ada, hal itu
bukan hanya milik seorang guru Bimbingan Konseling (BK) tetapi harus dimiliki
oleh semua orang. Kobayashi telah memberikan bukti melalui sistem yang telah
diterapkannya, begitupun tokoh-tokoh pendidikan kita sebuah konsep pendidikan
ala Indonesia yang menjadi ciri khas asli Indonesia. Mengapa sebagai pendidik
terlalu sibuk menerapkan berbagai metode dan mengubah metode pendidikan tanpa
mendengarkan aspirasi dan kebutuhan perserta didik. Guru harus bersuara saat
pemerintah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Guru
yang digugu dan ditiru. Jangan pernah lepaskan idealisme sebagai pendidik.
Tetaplah berjuang wahai pendidik yang tetap berkomitmen dalam pendidikan.
Ingatkan dan sebarkan bahwa mendengar juga suatu sarana untuk memahami dan
mengerti kebutuhan dari pendidikan .
Lampiran : info tambahan dari situs
Teori Belajar Behavioristik
Pandangan
tentang belajar : Belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan
paradigma S-R (stimulus- respon)
Ciri-ciri teori belajar behavioristik :
·
Mementingkan
pengaruh lingkungan
·
Mementingkan
bagian-bagian ( elementalistik )
·
Mementingkan
peranan reaksi.
·
Mengutamakan
mekanisme terbentuknya hasil belajar.
·
Mementingkan
sebab-sebab di waktu yang lalu,
·
Mementingkan
pembentukan kebiasaan, dan
·
dalam
pemecahan problem, ciri khasnya “trial and
·
error”.
Termasuk teori belajar behavioristik:
·
Teori
belajar koneksionisme dengan tokoh Edward Lee Thorndike.
·
Teori
belajar classical conditioning dengan tokoh
·
Pavlov.
·
Teori
belajar Descriptive behaviorism atau operant conditioning dengan tokoh Skinner.
1. Teori Belajar Koneksionisme : Belajar dapat
terjadi dengan dibentuknya hubungan yang kuat antara stimulus dan respons. Agar
tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk
memilih respons yang tepat serta melalui percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan ( error ) terlebih dahulu.
2. Hukum-hukum Belajar dari Thorndike. Ada tiga hukum
dasar ( hukum primer ) dan lima hukum tambahan. Adapun hukum dasar dari
Thorndike adalah sebagai berikut :
1. Hukum Kesiapan (Law of Readiness):
·
Bila
seseorang telah siap melakukan sesuatu tingkah laku, dan memberi kepuasan
baginya, maka ia tidak melakukan tingkah laku lain.
·
Bila
seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, maka tidak dilakukannya
tingkah laku itu akan menimbul kekecewaan.
·
Bila
seseorang belum siap melakukan tingkah laku maka dilaksanakannya tingkah laku
tersebut akan menimbulkan ketidak puasan.
·
Bila
seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku maka tidak dilakukannya
tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan.
2. Hukum latihan ( the law of exercise ) : Prinsip utama
belajar adalah ulangan. Makin sering suatu pelajaran diulangi, makin
dikuasailah pelajaran tersebut, dan makin tidak pernah diulangi, pelajaran tersebut
makin tidak dapat dikuasai. Terdiri dari :
·
Hukum penggunaan
( “the law of use” ) : Dengan latihan berulang-ulang maka hubungan stimulus
dan respons makin kuat.
·
Hukum tidak ada
penggunaan ( “the law of disuse” ) : Bahwa hubungan antara stimulus dan
respon melemah bila latihan dihentikan
·
3. Hukum akibat
( the law of effect ) : Hubungan stimulus respon diperkuat bila akibatnya
memuaskan dan diperlemah bila akibatnya tidak memuaskan. Lima Hukum Tambahan
Thorndike, yaitu :
·
Multiple
Respons atau reaksi yang bervariasi. Melalui proses trial and error seseorang
akan terus melakukan respons sebelum memperoleh respon yang tepat dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
·
Set
atau attitude, situasi di dalam diri individu yang menentukan apakah sesuatu
itu menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Proses belajar berlangsung
dengan
·
baik
bila situasi menyenangkan dan terganggu bila situasi tidak menyenangkan.
·
Prinsip
aktivitas berat sebelah (partial activity/prepotency of elements) yaitu manusia
memberikan respons hanya pada aspek tertentu. Dalam belajar harus diperhatikan
lingkungan yang sangat komplek yang dapat memberi kesan berbeda untuk orang
yang berbeda.
·
Prinsip
Response by analogy atau transfer of training. Yaitu manusia merespon situasi
yang belum pernah dialami melalui pemindahan ( transfer ) unsur-unsur yang
telah mereka kenal kepada situasi baru. Dikenal dengan theory of identical
elements yang menyatakan bahwa makin banyak unsur yang identik, maka proses
transfer semakin mudah.
·
Perpindahan
asosiasi ( Associative Shifting ). Yaitu proses peralihan suatu situasi yang
telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur-unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur-unsur lama
sedikit demi sedikit sekali sehingga unsur baru dapat dikenal dengan mudah oleh
individu.
4. Revisi Hukum Belajar dari Thorndike
·
Hukum
latihan ditinggalkan, karena ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus dengan respons.
·
Hukum
akibat (the law of effect) direvisi, ditemukan bahwa hadiah (reward) akan
meningkatkan hubungan, tetapi hukuman (punisment) tidak mengakibatkan efek
apa-apa.
·
Belongingness,
yaitu terjadinya hubungan stimulus-respon bukannya kedekatan, tetapi adanya
saling sesuai antara kedua hal tersebut. Situasi belajar akan mempengaruhi
hasil belajar.
·
Spread
of effect, yaitu bahwa akibat dari suatu perbuatan dapat menular.
5. Penerapan Teori Belajar Koneksionisme
·
Guru
dalam proses pembelajaran harus tahu apa yang hendak diberikan kepada siswa.
·
Dalam
proses pembelajaran, tujuan yang akan dicapai harus dirumuskan dengan jelas,
masih dalam jangkauan kemampuan siswa.
·
Motivasi
dalam belajar tidak begitu penting, yang lebih penting ialah adanya
respon-respons yang benar terhadap stimuli.
·
Ulangan
yang teratur perlu sebagai umpan balik bagi guru, apakah proses pembelajaran
sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau belum.
·
Siswa
yang sudah belajar dengan baik segera diarahkan.
·
Situasi
belajar dibuat mirip dengan kehidupan nyata, sehingga terjadi transfer dari
kelas ke lingkungan luar.
·
Materi
pembelajaran yang diberikan harus dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
·
Tugas
yang melebihi kemampuan peserta didik tidak akan meningkatkan kemampuan siswa
dalam memecahkan permasalahannya.
II. Teori belajar classical conditioning
Eksperimen
Pavlov dapat diterangkan berikut ini :
US
___________________ UR
CS1+ US1
___________________ UR1
CS2+ US2
___________________ UR2
CS3+ US3
___________________ UR3
CS32+US32
___________________ UR32
CSn
____________________ CRn
Keterangan :
·
US
(unconditioned stimulus) : Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus yang
langsung
·
menimbulkan
respon, misalnya daging dapat merangsang anjing untuk mengeluarkan air liur.
·
UR
(unconditioned respons) : respon tak bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan
hadirnya US, misalnya air liur anjing keluar karena anjing melihat daging.
·
CS
(conditioning stimulus) : stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat
langsung menimbulkan respon, agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan
dengan US secara terus menerus agar menimbulkan respon. Misalnya Bunyi bel akan
menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
·
4.
CR (conditioning respons) : respons bersyarat,
yaitu respon yang muncul dengan hadirnya CS. Misalnya : air liur anjing
keluar karena anjing mendengar bel.
·
Kemungkinan
proses yang menyertai :
·
Proses
extinction yaitu proses hilangnya respons yang diharapkan. Terjadi apabila
pemberian CS tanpa adanya US terus-menerus diberikan sehingga kadar CR makin
menurun, dan dapat hilang sama sekali.
·
Spontaneous
recovery, yaitu CR yang hilang setelah extinction akan muncul kembali apabila
US diberikan lagi.
·
Asimtot
kurve belajar, yaitu keadaan dimana pengulangan CS-US tidak menyebabkan penambahan
kekuatan CR (Tingkat CR stabil).
·
Generalisasi,
yaitu kecenderungan organisme memberi respon tidak hanya pada stimulus yang dilatihkan,
tetapi juga pada stimulus lain yang berhubungan, misalnya anjing yang dilatih
untuk mengeluarkan air liur dengan cara mendengar nada tertentu, setelah
berhasil dia juga mengeluarkan air liur kalau mendengarkan nada yang lebih
tinggi atau lebih rendah.
·
Diskriminasi
yaitu keadaan organisme hanya memberi respon pada stimulus tertentu, sehingga tidak
memberi respon pada stimulus yang lain, walaupun stimulus tersebut berhubungan
dangan stimulus sebelumnya.
·
Conditioning
tingkat tinggi (higher order conditioning), yaitu conditioning yang sangat
tinggi dimana CS dipasangkan dengan CS lain sudah menimbulkan respon yang
diinginkan.
Penerapan teori conditioning dalam belajar. Kalau mata
pelajaran termasuk CS, sikap guru termasuk US, dan respon siswa termasuk UR
atau CR, maka akan terjadi hal sebagai berikut :
·
Mata
pelajaran Matematika ( CS ) + guru yang baik (US) siswa mempunyai respon
positif (UR), yang berarti siswa senang pada cara guru mengajar matematika
dengan baik. Kalau hal ini dilakukan berkali-kali, maka akan terjadi : mata
pelajaran Matematika (CS) siswa mempunyai respon positif terhadap mata pelajaran
Matematika (CR).
·
Matematika
(CS) + guru otoriter (US) respons siswa negatif (UR). Kalau hal ini dilakukan
berkali-kali, maka akan terjadi hal sebagai berikut : mata pelajaran matematika
(CS) respons siswa terhadap mata pelajaran matematika negatif (CR).
Teori belajar operant conditioning (Skinner). Ada dua macam
respons, yaitu :
·
Respondent
respons, yaitu respons yang ditimbulkan oleh perangsang tertentu. Respon ini
timbul karena didahului perangsang tertentu (eleciting stimuli), menimbulkan
respons secara relatif menetap. Misalnya makanan hanya dapat menyebabkan keluarnya
air liur.
·
Operant
respons atau instrumental respons. Perangsangnya disebut reinforcer yaitu
respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu.
Respons ini memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme.
Jadwal
reinforcer Skinner
·
Continuous
reinforcer ( CRF ), Dalam CRF, setiap respons ada reinforcer / reward.
·
Fixed
interval reinforcer ( FI ) Setiap interval waktu tertentu, secara fix diberi
hadiah / reinforcer. Misalnya, setiap tiga menit, diberi hadiah, sehingga
interval waktunya sebagai berikut : 3 menit 6 menit 9 menit 12 menit dan
seterusnya.
·
Fixed
ratio reinforcer (FR), setiap perbandingan yang fix, diberi hadiah. Misalnya,
setiap tiga kali tikus menekan tombol, diberi hadiah satu. Setiap enam kali tikus
menekan tombol diberi hadiah dua kali lipat, setiap tikus menekan tombol
sembilan kali, diberi hadiah tiga kali lipat, dan seterusnya.
·
Variabel
interval reinforcer ( VI ), pada VI, tiap waktu bermacam-macam, diberi hadiah.
·
Variabel ratio reinforcer ( CR ), setiap
berapa kali tidak tentu, diberi hadiah. Jadi kadang-kadnag diberi hadiah dan
kadang-kadang tidak diberi hadiah dalam waktu yang tidak tentu. Dari berbagai
jadwal pemberian reinforcer ini, ternyata
kecepatan berespons paling tinggi, ialah VR, kemudian FR, selanjutnya VI,
berikutnya FI, dan yang paling tidak cepat ialah CRF.
b. Penerapan Teori Skinner dalam belajar
·
Hasil
belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika
benar diberi penguat.
·
Proses
belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
·
Materi
pelajaran, digunakan sistem modul.
·
Dalam
proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
·
Dalam
proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
·
Tingkah
laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
·
Dalam
pembelajaran, digunakan shaping.
PSIKOANALSIS
Freud adalah
seorang psikiater dari
Austria, berpendapat bahwa
pemuasan kebutuhan pada manusia
berdasarkan instingnya, berfokus
pada kebutuhan seksual
dari dalam diri
(libido seksual), kesenangan dan
fantasi-fantasi yang menyenangkan. Freud mengatakan bahwa kepribadian dasar
kita dibentuk pada lima tahun pertama kehidupan manusia.
Menurut Freud
komponen dalam diri manusia adalah id,
ego, superego. Id adalah dorongan kebutuhan
dari dalam diri
manusia baik itu
kebutuhan emosional, fisik
maupun kebutuhan seksual yang sifatnya selalu ingin dipuaskan
(“here and now”) dan biasanya berhubungan dengan kesenangan yang harus dipenuhi
dan sesegera mungkin
(pleasure principles).
Contoh ; pada bayi yang baru lahir sangat dikuasai
oleh id, bayi
menangis ketika lapar
dan ingin segera
dipenuhi kebutuhan akan
rasa laparnya tersebut tanpa mau tahu bagaimana ia akan mendapatkan
susunya. Ego adalah sang rasional, manusianya itu sendiri, yang memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah, memiliki ide-ide untuk memenuhi kebutuhannya,
memiliki prinsip-prinsip yang
berdasarkan kenyataan (reality
principle) dimana manusia belajar untuk
menahan id-nya dengan jalan yang
tepat dan memiliki pandangan yang
lebih realistik untuk
memenuhi kebutuhan dari
dalam dirinya. Superego
adalah norma-norma yang berlaku, moral, aturan-aturan yang berlaku, hal-hal yang ideal yang memiliki
penjelasan tentang hal-hal yang benar
dan salah yang membantu sang ego untuk menahan
sang id. Pada teori Psikoanalisa ini Freud membagi tahapan-tahapan
perkembangan kehidupan manusia menjadi
lima, yaitu masa
oral, masa anal,
masa phalic, masa
latency dan masa
genital. Tahapan perkembangan
diatas akan dijelaskan sebagaimana berikut :
·
Fase
Oral ( 0 – 1 tahun ). Adalah masa dimana
kepuasan baik fisik
dan emosional berfokus
pada daerah sekitar
mulut. Kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan yang paling penting untuk
faktor fisik dan emosional yang sifatnya harus segera dipuaskan. Dimasa ini id
dan pemenuhan kebutuhan sesegera mungkin berperan sangat dominan.
·
Fase
Anal (1 – 3 tahun). Adalah masa dimana
sensasi dari kesenangan
berpusat pada daerah
sekitar anus dan
segala aktivitas yang berhubungan
dengan anus. Pada masa inilah anak mulai
dikenalkan dengan “toilet training”, yaitu anak mulai diperkenalkan tentang
rasa ingin buang air besar atau kecil. Anak diperkenalkan dan diberi pembiasaan
tentang kapan saatnya dan dimana tempatnya untuk buang air besar atau kecil,
dan juga mengeliminasi kebiasaan – kebiasaan anak yang kurang tepat dalam hal
BAB dan BAK, misalnya BAB / AK di celana. Contoh : ketika anak sudah
menunjukkan gejala atau bahasa tubuh ingin BAB / BAK, orang tua / guru / orang
dewasa segera mengantarkan anak ke kamar kecil, prilaku ini dilakukan
berulang – ulang dan konsisten.
·
Fase
Phalic ( 3 – 6 tahun ). Adalah masa dimana
alat kelamin merupakan
bagian paling penting,
anak sangat senang memainkan alat
kelaminnya yang terkadang
dilakukannya untuk membuat
orang tuanya tidak senang. Anak laki – laki pada usia ini
sangat dekat dan merasa sangat mencintai ibunya
(oedipus complex) begitu juga dengan anak perempuan yang sangat
mencintai ayahnya sehingga terkadang menganggap
ibunya adalah saingannya
(electra complex).
Di masa
ini anak –
anak akan merasa sangat
kecewa dan diabaikan
jika keinginan atau
harapannya kepada salah
satu orang tua
yang dianggap segala – galanya dan sangat dicintai tidak terpenuhi. Pada
umumnya anak lelaki sangat bangga
akan kelaminnya dan
sering membanggakan di
depan anak perempuan
sehingga anak perempuanpun sangat tertarik dan bertanya – tanya kenapa
mereka tidak memiliki seperti yang dimiliki oleh anak laki – laki dan hal ini
menimbulkan perasaan rendah diri pada anak perempuan.
Di masa
ini juga anak
akan belajar mengenal
dan mengidentifikasi dirinya
dengan melihat perbedaan antara
ayah dan ibunya dan mencari kesamaan dalam dirinya (misalnya ; seorang anak
laki –
laki mengidentifikasikan dirinya
dengan melihat kepada
ayahnya yang berjenis
kelamin sama dengan dirinya ; bagaimana berpakaian ayahnya, bagaimana
peran ayah di rumah, dll). Masa ini
sangat penting untuk perkembangan identifikasi
jenis kelamin pada
anak, bagaimana seharusnya anak
laki – laki atau anak perempuan
bersikap, berpakaian dan berperan. Jika masa ini lingkungan tidak mendukung
anak untuk mengidentifikasi dirinya dengan baik, maka anak akan mengalami bias
(ketidakjelasan) dalam mengidentifikasikan dirinya
sebagai seorang laki
– laki atau perempuan.
SINOPSIS by Oleh uniirma pada
rahasia kesehatan
manusia. Melalui http://uniirma.wordpress.com/2010/09/13/analisa-kasus-totto-chan/. Akses tanggal 13 september 2013
Totto Chan : Gadis Cilik di Jendela adalah sebuah novel
karya penulis Jepang Tetsuko Kuroyanagi tentang masa kecilnya di sekolah Tomoe
Gakuen, sekolah alternatif yang didirikan seorang pendidik hebat bernama Sosaku
Kobayashi. Kisah ini dimulai saat ibunda Totto-chan datang memenuhi panggilan pihak
Sekolah Dasar Negeri di mana putrinya belajar. Totto-Chan yang merupakan
panggilan sayang untuk Tetsuko ini mengawali masa sekolah pertamanya di SD
tersebut, namun karena di kelas Totto-Chan suka sekali membuat keributan
kemudian berlama-lama berdiri di jendela dan sesekali memanggil pengamen untuk
memainkan musik, hal itu menurut guru-gurunya tindakan ‘terlalu nakal’,
akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah tersebut.
Beruntung Totto-Chan memiliki ibu yang sangat memperhatikan
kebutuhan anak semata wayangnya, sampai akhirnya ibunya menemukan sekolah
bernama Tomoe Gakuen (1937-1945) untuk Totto-Chan. Tidak seperti sekolah biasa,
ruangan sekolahnya adalah gerbong kereta api, dengan view pemandangan alam
sehingga para murid-muridnya serasa bukan sekolah tetapi melakukan perjalanan
rekreasi.
Dalam ruangan sekolah yang tak biasa ini, mata pelajaranpun
diajarkan secara tak biasa juga. Para murid bebas mengubah urutan pelajaran
sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar fisika, ada yang
mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka
mereka. Kepala sekolah mereka, yaitu Sosaku Kobayashi juga menerapkan
‘kurikulum unik’ yaitu setiap murid harus menyiapkan menu makan siang ‘sesuatu
dari laut dan sesuatu dari pegunungan’. Dalam suasana kelas dengan pelajaran
serta berbagai kegiatan yang luar biasa mengasyikkan, walaupun belum
menyadarinya, Totto-chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa,
dan lain-lain di sana. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang
persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain. Totto-Chan tumbuh menjadi
pribadi yang percaya diri dan tidak perlu menjadi orang lain di kehidupan masa
depannya kelak. Perang Dunia II telah dimulai. Suatu hari di tahun 1945 sekolah
ini terkena bom-bom pesawat Amerika dan tidak pernah dibangun kembali, meskipun
kepala sekolah berjanji akan membangun sekolah yang lebih baik di masa depan.
Janji itu tidak pernah terpenuhi dan inilah akhir dari tahun-tahun Totto-chan
sebagai murid di Tomoe Gakuen.
GAMBARAN
KASUS
Perilaku Totto-Chan yang dianggap ’nakal dan aneh’ di SD
pertamanya benar-benar membuat guru-guru geram dan kehabisan akal. Totto-Chan
berulang kali melakukan hal-hal yang tidak diinginkan selama pelajaran di kelas
berlangsung. Penjelasan salah seorang guru pada Mama Totto-Chan tentang
perilaku anaknya berikut ini akan menggambarkan kemungkinan gangguan behavior
pada Totto-chan, seorang anak yang punya keingintahuan yang besar dan tak mau
diam ini…
·
”Putri Anda mengacaukan kelas saya.
Saya terpaksa meminta Anda memindahkannya ke sekolah lain.” Kemudian ibu guru
muda yang manis itu mendesah. ”Kesabaran saya benar-benar sudah habis.” Hal
12—Gadis Cilik di Jendela ”Saya bukan satu-satunya guru yang kesal. Guru di
kelas sebelah juga mendapat kesulitan.”
·
Sambil mengedip-ngedip gugup dan
merapikan rambutnya yang dipotong pendek model laki-laki, guru itu menjelaskan,
”Yah, misalnya, dia menutup dan membuka mejanya ratusan kali. Saya sudah
menjelaskan bahwa murid-murid tak boleh membuka atau menutup mejanya kecuali
untuk mengambil atau memasukkan sesuatu. Eh, putri Anda malah jadi
terus-terusan mengeluarkan dan memasukkan sesuatu —mengeluarkan atau memasukkan
buku catatan, kotak pensil, buku pelajaran, atau apa saja yang ada di mejanya.”
”Misalnya, waktu pelajaran menulis abjad, putri Anda membuka meja dengan
membantingnya. Kemudian dia membuka meja lagi, memasukkan kepalanya,
mengeluarkan pensil, cepat-cepat membanting tutupnya, lalu menulis ’A’. Kalau
tulisannya jelek atau salah, dia akan membuka meja lagi, mengeluarkan
penghapus, menutup meja, menghapus huruf itu, kemudian membuka dan menutup meja
lagi untuk menyimpan penghapus— semua itu dilakukannya dengan cepat sekali.
”Ketika sudah selesai mengulang menulis ’A’, dia memasukkan kembali semua
peralatan ke bawah meja, satu per satu. Dia memasukkan pensil, menutup meja,
lalu membukanya lagi untuk memasukkan buku catatan. Kemudian, ketika dia sampai
ke huruf berikutnya, dia mengulang semuanya —mula-mula buku catatan, lalu
pensil, lalu penghapus— setiap kali dia melakukan itu dia menutup dan membuka
mejanya. Itu membuat saya pusing. Tapi saya tak bisa memarahinya karena dia
selalu membuka dan menutup mejanya dengan alasan yang benar.”
·
”Kalau dia tidak membuat kegaduhan
dengan mejanya, dia berdiri selama jam pelajaran!” ”Berdiri? Di mana?” tanya
Mama kaget. ”Di depan jendela,” jawab guru itu ketus. ”Kenapa dia berdiri di
depan jendela?” tanya Mama heran. ”Agar dia bisa memanggil pemusik jalanan!”
guru itu nyaris menjerit. Kata guru itu, Totto-chan mengumumkan kepada seisi
kelas, ”mereka datang!” dan anak-anak berlarian ke jendela sambil
memanggil-manggil para pemusik itu. ”Mainkan lagu,” kata Totto-chan. Rombongan
kecil itu, yang biasanya melewati sekolah tanpa suara, memainkan musik mereka
keras-keras di depan murid-murid. Maka terdengarlah lengking nyaring klarinet,
bunyi gong, genderang, dan samisen. Guru yang malang itu hanya bisa menunggu
dengan sabar sampai kegaduhan selesai. Akhirnya, setelah lagu selesai, para
pemusik itu pergi dan murid-murid kembali ke tempat duduk masing-masing. Semua,
kecuali Totto-chan. Ketika guru bertanya, ”Mengapa kau tetap berdiri di depan
jendela?”. Totto-chan menjawab dengan sungguh-sungguh, ”mungkin pemusik yang
lain akan lewat. Lagi pula, sayang kan, kalau kita sampai tidak melihat
rombongan yang tadi kembali.” ”Sekarang Anda pasti bisa membayangkan betapa
kelakuannya membuat kelas menjadi kacau, kan?” kata guru itu emosi.
·
”Lagi pula, selain itu…” Guru itu
berusaha menenangkan diri, kemudian memandang Mama lekat-lekat ”Kemarin,
Totto-chan berdiri di depan jendela seperti biasa. Saya terus mengajar, mengira
dia menunggu para pemusik jalanan itu. Tiba-tiba dia berteriak kepada
seseorang, ’Hei, kau sedang apa?’ berulang kali. Dari tempat saya berdiri saya
tidak bisa melihat siapa yang diajaknya bicara. Saya mencoba mendengar, tapi
tak ada yang menjawab. Meskipun demikian, putri Anda terus-menerus berseru,
’Kau sedang apa?’ begitu seringnya hingga saya tak bisa mengajar. Akhirnya saya
pergi ke jendela untuk melihat siapa yang diajaknya bicara. Ketika menjulurkan
kepala keluar jendela dan mendongak, saya melihat sepasang burung walet sedang
membuat sarang di bawah atap teritisan. Totto-chan berbicara pada sepasang
burung walet!
·
”Ada lagi masalah di pelajaran
menggambar. Saya meminta anak-anak menggambar bendera Jepang, tapi putri Anda
menggambar bendera Angkatan Laut —Anda tau kan, yang bergambar matahari dengan
garis-garis sinar. Tapi, tiba-tiba dia mulai menggambar rumbai-rumbai di
sekeliling bendera. Rumbai-rumbai!… Sebelum saya sadar apa yang dilakukannya,
dia telah menggambarkan rumbai kuning sampai ke pinggir kertas dan terus
menggoreskannya di atas mejanya. Anda tahu, benderanya dia gambar hampir
sehalaman penuh. Jadi tak ada tempat cukup untuk rumbai-rumbainya. Dia
mengambil krayon kuning lalu membuat ratusan garis yang menggores sampai
melewati pinggir kertas. Jadi, waktu dia mengangkat kertasnya, mejanya penuh
dengan coretan kuning yang tak bisa dihapus betapapun kerasnya kami berusaha.”
Selain itu, Totto-chan adalah seorang anak yang sangat
senang bercerita. Di salah satu bab berjudul ’Kepala Sekolah’ saat pertama kali
masuk ke sekolah barunya, Tomoe Gakuen, Totto-chan senang sekali dan langsung
berbicara penuh semangat ketika kepala sekolah memintanya untuk menceritakan
apapun yang ia suka. Ceritanya kacau dan urutannya tidak karuan, tapi semua
dikatakannya apa adanya. Totto-chan terus bercerita selama berjam-jam apapun
tentang pengalamannya, pakaiannya, kesukaanya menyebrangi kebun orang dengan
menyusup di bawah pagar halaman atau merayap di bawah kawat berduri yang
memagari tanah-tanah kosong, dan masih banyak lagi. Bayangkan, Totto-chan dan
Mama sampai di sekolah itu jam delapan, tapi ketika dia selesai bercerita dan
Kepala sekolah menyatakan dia murid sekolah itu, pria itu melihat jam sakunya
dan berkata, ”Ah, waktunya makan siang.” Jadi, Kepala Sekolah sudah
mendengarkan cerita Totto-chan selama empat jam penuh !
Di sekolah yang baru, Totto-chan bertemu dengan banyak teman
baru. Teman-temannya menurut Totto-chan memiliki keunikan masing-masing, salah
satunya Yasuaki-chan yang memiliki gaya berjalan yang aneh. Ketika berjalan,
tubuhnya bergoyang-goyang dan ia harus menyeret kakinya. Jari-jari tangan kiri
Yasuaki-chan seperti tertekuk dan menempel satu sama lain, pada akhirnya Totto-chan
tahu bahwa Yasuaki-chan terkena polio. Walaupun begitu, Totto-chan berusaha
mewujudkan mimpi temannya itu untuk bisa menaiki suatu pohon yang ada di
halaman sekolah. Ia meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa sama-sama memanjat
pohon bersama Yasuaki-chan. Dengan usaha yang keras, seorang Totto-chan yang
kecil akhirnya bisa membawa seorang anak yang terkena polio berada di atas
dahan pohon yang cukup tinggi!
Ia juga sangat menyukai Tai-chan. Anak itu cerdas dan mahir
fisika. Tai-chan belajar bahasa Inggris & dialah yang mengajari Totto chan
mengucapkan kata Inggris untuk Rubah “Fox”. Totto-chan senang sekali
mengulang-ulang kata itu sepanjang hari. Sejak itu, hal pertama yang selalu
dilakukannya begitu masuk ke kelas ”keretanya” adalah meraut semua pensil
Tai-chan seindah mungkin, dengan pisau perautnya. Ia bahkan tak memedulikan
pensil-pensilnya sendiri, yang cukup dirautnya dengan gigi. Suatu hari, Tai
chan pernah marah dan berkata kasar padanya karena Totto-chan melempar dirinya
keluar arena gulat sumo. Totto-chan sangat menyesali kejadian itu. Apa yang
mendorongnya mengalahkan anak laki-laki yang sangat disukainya, yang
pensil-pensilnya dirautnya setiap hari? Tapi sudah telambat, namun… “Aku akan
tetap meraut pensil-pensilnya,” kata Totto chan memutuskan. —bab ’Pengantinnya’
Di kisah yang lain dalam bab ’Masukkan Kembali Semua!’,
Totto-chan secara tidak sengaja pernah menjatuhkan dompetnya ke dalam bak
penampungan kotoran di halaman belakang sekolah. Ia tidak menyerah atau bahkan
merengek meminta tolong kepada orang yang lebih dewasa darinya untuk mengambil
dompet tersebut melainkan ia berusaha mengambilnya sendiri walaupun sulit dan
tempat penampungan itu sangat dalam, kotor, dan menjijikkan. Dengan semangat,
Totto-chan mengeluarkan seluruh kotoran ke permukaan tanah dengan menggunakan
gayung yang ia pinjam dari gudang tukang kebun hingga ia menemukan barang yang
ia cari. Setelah itu, karena Kepala Sekolah berkata padanya dengan tenang, “Kau
akan memasukkan kembali, kalau sudah selesai kan?”, meyakinkannya bahwa ia akan
mengembalikan semua kotoran ke tempatnya semula, maka ia tak kenal lelah untuk
memasukkan kembali isi bak ke dalam lubangnya, kemudian memasukkan tanah yang
basah, meratakan tanah, menutup kembali lubang itu dengan rapi seperti semula lalu
mengembalikan gayung ke gudang tukang kebun.
PEMBAHASAN
DEFINISI ADHD (Attention-Deficit Hyperactivity Disorder)
adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak
hingga menyebabkan aktifitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung
berlebihan. Gangguan ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk
memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang
perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia,
Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif.
Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku,
sosialisasi maupun komunikasi. Gangguan hiperaktif merupakan salah satu
kelainan yang sering dijumpai pada gangguan perilaku pada anak. Berdasarkan
kasus, Totto-Chan +/- 6 tahun kemungkinan mengalami ADHD karena adanya
kecenderungan beraktivitas berlebihan dan banyak bicara.
ETIOLOGI Penyebab Totto-chan mengalami ADHD tidak
teridentifikasi karena di novel ini tidak menjelaskan pemeran utama dalam sudut
pandang kesehatan jiwa melainkan lebih banyak dikisahkan dari sudut pandang
dunia pendidikan. Walaupun begitu, terdapat beberapa kemungkinan mengapa
Totto-chan bisa mengalami ADHD misalnya faktor genetik, perkembangan otak saat
kehamilan dan perinatal, tingkat kecerdasan (IQ), terjadi disfungsi
metabolisme, hormonal, lingkungan fisik dan sosial sekitar, asupan gizi, dan
orang-orang di lingkungan sekitar termasuk keluarga. Tentang keluarga, dalam
novel dikisahkan Totto-chan memiliki anggota keluarga yang pengertian, sabar
dan bijaksana dalam mengasuh dan mengayomi Totto-chan sehingga faktor keluarga
bukan merupakan etiologi dari gangguan perilaku pada gadis kecil ini.
KLASIFIKASI
ADHD adalah sebuah kondisi yang amat kompleks; gejalanya berbeda-beda. Para
ahli mempunyai perbedaan pendapat mengenai hal ini, akan tetapi mereka
menggunakan jenis ADHD berikut ini:
·
Tipe anak yang tidak bisa memusatkan
perhatian / inatensi. Mereka sangat mudah terganggu perhatiannya, tetapi tidak
hiperaktif atau Impulsif. Mereka tidak menunjukkan gejala hiperaktif. Mereka
seringkali melamun dan dapat digambarkan seperti sedang berada di awang-awang.
Tanda dan gejala yang sering ditunjukkan : a. Sering lalai memberi perhatian
seksama pada detail. b. Mempunyai kesukaran mempertahankan perhatian pada kerja
dan bermain. c. Tidak tampak mendengarkan kalau berbicara secara langsung. d.
Sering tidak melaksanakan perintah dan lalai menyelesaikan tugas. e. Sering
mempunyai kesukaran melakukan tugas dan aktivitas. f. Sering menghindar, sebel,
atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memerlukan usaha mental
terus-menerus. g. Sering kehilangan barang. h. Dengan mudah dialihkan dengan
hal yang tak ada hubungannya dengan rangsangan. i. Sering pelupa.
·
Tipe anak yang hiperaktif dan impulsif.
mereka menunjukkan gejala yang sangat hiperaktif dan impulsif, tetapi tidak
bisa memusatkan perhatian. Tanda dan gejala hiperaktif (tidak bisa diam): a.
Sering memain-mainkan tangan atau kaki atau menggeliat. b. Sering meninggalkan
tempat duduk di ruang kelas dan tempat lainnya. c. Sering berlari kesana-kemari
atau merambat naik secara berlebihan. d. Sulit untuk bermain atau terlibat
dalam aktivitas yang diam. e. Sering bergerak atau bertingkah seolah-olah
digerakkan oleh mesin. f. Sering berbicara berlebihan. Tanda dan gejala
impulsif (Kesulitan untuk menunda respon/ dorongan untuk mengatakan dan
melakukan sesuatu yang tidak sabar) : a. Sering menyela atau mengganggu orang
lain. b. Sering mengucapkan jawaban tanpa berpikir sebelum pertanyaan komplit.
c. Sering mempunyai kesukaran menunggu giliran.
·
Tipe gabungan mereka sangat mudah
terganggu perhatiannya, hiperaktif dan impulsif. Kebanyakan anak anak termasuk
tipe seperti ini.
Semua tanda belum tentu sebagai diagnosa Attention-Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD). Tetapi, tanda inatensi selalu harus ada untuk
diagnosa. Kemudian tanda harus ada di dua atau lebih tempat (misalnya, rumah
dan sekolah) dan harus mengganggu masalah sosial atau fungsi akademis. Pada
kasus, Totto-chan lebih cenderung mengalami ADHD hiperaktif dengan tanda dan
gejala hiperaktif yang telah disebutkan di atas. Dalam novel, khususnya
terlihat saat Totto-chan berada di SD-nya yang petama bahwa ia begitu sering
membuka dan menutup laci mejanya dalam waktu yang cepat, selama jam pelajaran
berlangsung ia lebih sering berdiri di ambang jendela untuk memanggil pemusik
jalanan dan meminta mereka memainkan musik sehingga membuat keributan atau
sekedar berbicara pada burung walet. Ia juga mampu menceritakan apapun yang ada
dalam pikirannya kepada Kepala Sekolahnya yang baru selama kurang lebih 4 jam
nonstop.
Selain itu, Totto-chan juga sedikit mengalami inatensi yang
diceritakan oleh guru pertamanya pada pelajaran menggambar. Ia malah menggambar
bendera dengan matahari bergaris sinar padahal tugasnya pada waktu itu adalah
menggambar bendera Jepang. Seperti yang telah disebutkan bahwa seorang anak
dikatakan mengalami ADHD ketika tanda dan gejala terjadi di dua atau lebih
tempat si anak beraktivitas, Totto-chan pun termasuk di dalamnya. Baik di sekolah
yang lama, sekolah yang baru maupun di rumah, Totto-chan dikisahkan sebagai
seorang anak yang sangat aktif, banyak bertanya dan bicara serta memiliki rasa
ingin tahu yang besar. Akibatnya, karena guru-guru di sekolahnya yang lama
menganggap bahwa Totto-chan adalah anak yang luar biasa nakal, ia dikeluarkan
dari sekolah. Padahal Totto-chan hanyalah seorang murid kelas 1 SD dan ia tidak
sampai satu tahun berada di sekolah itu. Hal tersebut menandakan bahwa perilaku
Totto-chan sudah menjadi hambatan dalam fungsi akademisnya.
Berdasarkan kasus, Totto-chan banyak mendapatkan masalah di
sekolahnya yang pertama bahkan ia dikeluarkan dari sekolah. Namun, di Tomoe
Gakuen dengan sistem belajar dan tenaga pengajar yang sangat mengerti kondisi
Totto-chan, Totto-chan lebih banyak menunjukkan dampak positif dari ADHD. Ia
selalu antusias dan semangat setiap kali dikenalkan mata pelajaran dan metode
belajar yang baru bahkan tidak malu untuk mengatakan keras-keras bila ia
menyukai sesuatu ”Aku suka sekolah ini!”, produktif, banyak energi, rela
mengambil resiko (salah satunya ditunjukkan ketika Totto-chan mengambil
dompetnya dalam bak penampungan kotoran di halaman belakang sekolahnya. Ia
terus mencari dompet itu dengan mengeluarkan kotoran-kotoran yang ada di dalam
bak hingga bak itu hampir kosong dan ketika menemukannya, Totto-chan tetap
bersemangat mengembalikan kotoran tadi pada tempatnya semula hingga bersih
seperti semula). Ia juga sensitif, berimpian (di awal cerita Totto-chan dengan
mantap mengungkapkan ingin menjadi seorang penjual karcis kereta atau pemusik
jalanan), mau menolong serta bekerja keras menyenangkan orang lain yang
disukainya seperti Yasuaki-chan dan Tai-chan.
TERAPI Berdasarkan kasus, sebenarnya tidak dijelaskan secara
langsung bagaimana keluarga atau orang terdekat Totto-chan berusaha
menyembuhkan gangguan perilaku pada gadis cilik ini. Mama Totto-chan yang
pengertian, Kepala Sekolah yang sangat sabar, teman-teman, guru dan kegiatan belajar
di Tomoe Gakuen yang menyenangkan secara tidak langsung membentuk kepribadian
dan perilaku Totto-chan yang semula tidak terkendali menjadi seorang anak yang
bisa memahami dirinya sendiri secara positif dan juga orang lain. Bahkan kelak
ketika dewasa, Totto-chan, nama kecil Tetsuko Kuroyanagi menjadi seorang yang
banyak berkontribusi positif untuk lingkungan sekitar khususnya dunia anak-anak
(duta UNICEF) juga dunia pendidikan, menjadi penulis, entertainer, dan yang
paling penting adalah bisa menghilangkan dampak buruk yang mungkin ada bagi
penderita ADHD setelah dewasa. Beberapa hal yang secara tidak langsung menjadi
’terapi’ bagi Totto-chan di Tomoe gakuen, diantaranya :
1.
Kelas tempat belajar para murid di Tomoe Gakuen adalah tempat yang membuat
Totto-chan dan anak lainnya betah untuk berlama-lama berada di kelas,
bersemangat untuk datang lebih awal ke sekolah, dan enggan untuk beranjak pergi
ketika pelajaran berakhir. Kelas yang digunakan sangat menarik yaitu dengan
menggunakan gerbong kereta bekas dengan pemandangan alamnya seolah para murid
sedang melakukan perjalanan yang menyenangkan dengan kereta. Hal ini dapat
meningkatkan minat dan atensi Totto-chan selama kegiatan belajar.
2.
Metode belajar yang digunakan di Tomoe Gakuen pun sangat menarik. Setiap murid
bebas memilih pelajaran yang ingin mereka pelajari sesuka mereka dan bisa
mengonsultasikannya pada guru apabila mereka mengalami kesulitan. Hal ini
sangat baik dan dapat menghindari pengekangan / pembatasan kreatifitas
Totto-chan dan murid lainnya. Khusus bagi Totto-chan yang sangat aktif, ini
menjadi media baginya menyalurkan keinginan serta tidak menjadi masalah apabila
ia ingin melakukan apapun yang ia suka, bermusik, berhitung, menggambar,
bahasa, dan lain-lain sehingga ia tidak akan merasa dirinya dianggap aneh dan
berbeda dari anak-anak lainnya sebagaimana yang pernah dirasakan Totto-chan
sebelum ia mengenal Tomoe Gakuen. —bab ’Kepala Sekolah’. Kemudian metode ini
juga termasuk ke dalam terapi akademik (diawali dengan buku yang disukai oleh anak
atau buku yang menarik minatnya) sebagai pedoman bagi anak ADHD yang umumnya
mengalami kesulitan dalam belajar membaca dan mengeja.
3.
Peraturan di Tomoe Gakuen tidak mewajibkan muridnya untuk berseragam, melainkan
sebaliknya, setiap murid harus menggunakan pakaian yang paling usang —bab
’Pakaian Paling usang’. Hal tersebut dapat melatih anak ADHD untuk tidak rendah
diri atau bahkan tertekan karena dianggap nakal sebagaimana yang dilakukan
Totto-chan yang begitu sering merayap di bawah pagar atau memanjat pohon
sehingga bajunya sering sekali robek.
4.
Pada bab ’Euritmik’ diceritakan bahwa setengah jam pelajaran di sekolah Tomoe
diisi dengan pelajaran seni. Salah satunya euritmik, berupa pelajaran seni
musik yang idenya diambil Kepala Sekolah Kobayashi dari Emile Jaques-Dalcroze
seorang berkebangsaan Swiss. Setiap pelajaran itu berlangsung, Pak Kobayashi
memainkan piano sambil meminta para murid melakukan gerakan sesuai ketukan
irama yang diperdengarkan. Saat ketukan pelan, anak-anak bergerak lambat, saat irama
dipercepat, mereka pun bergerak lebih energik. Semuanya bebas berekspresi dan
menari sesuka hati. Namun ada syaratnya, para murid tak boleh bertabrakan
dengan murid lain. Hal ini termasuk ke dalam terapi bermain. Terapi bermain
bagi penyandang ADHD dapat ditujukan untuk meminimalkan/menghilangkan perilaku
agresif, perilaku menyakiti diri sendiri, dan menghilangkan perilaku berlebihan
yang tidak bermanfaat. Hal ini dapat dilakukan dengan melatihkan
gerakan-gerakan tertentu kepada anak dengan aturan-aturan tertentu. Bagi
Kobayashi, Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh,
mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh, memungkinkan raga dan
pikiran memahami irama. Mempraktekkan euritmik membuat kepribadian anak-anak
bersifat ritmik, kuat, indah, selaras dengan alam dan mematuhi hukum-hukumnya.
Euritmik yang diajarkan Kepala sekolah dapat mengasah kepekaan rasa, irama,
serta gerak yang merupakan koordinasi fungsi otak yang kompleks, mengenal
urutan, kapan harus bergerak lambat, kapan harus bergerak selincah mungkin dan
membantu mengembangkan keterampilan motorik.
5.
Euritmik dan berbagai aktivitas di Tomoe Gakuen juga termasuk terapi okupasi
bagi Totto-chan. Terapi okupasi Ialah usaha penyembuhan terhadap anak yang
mengalami kelainan mental dan fisik dengan jalan memberikan keaktifan kerja dan
keaktifan itu dapat mengurangi penderitaan yang dialami anak. Inipun dipadukan
dengan beberapa disiplin ilmu yaitu seni dan pendidikan sehingga dapat membantu
anak dalam pengobatan fisiknya juga mengobati dari segi emosi dan sosialnya.
Terapi okupasi tidak hanya sebatas aktifitas fisik, tetapi mencakup
perkembangan intelektual, sosial, emosi dan kreativitas. Sehingga terapi ini
bertujuan untuk: Diversional : dimana ini untuk mengalihkan perhatian agar
tidak terjadi neurosis, dimana untuk memelihara dan mengembangkan potensi
kecerdasan, intelektual, motivasi dan semangat anak Pemulihan fungsional :
yaitu membuat persendian, otot dan kondisi tubuh umumnya dapat berfungsi
sebagaimana mestinya sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup. Latihan
Prevokasional : yaitu memberi anak peluang persiapan menghadapi tugas,
pekerjaan atau profesi yang sesuai dengan kondisinya.
6.
Apapun terapi yang dilakukan, yang terpenting adalah adanya support system bagi
anak ADHD dan hal itu diterima oleh Totto-chan. Walaupun di sekolah pertamanya
ia dianggap pemberontak, susah diatur, nakal dan trouble maker, namun ia
memiliki seorang ibu yang memiliki kesabaran dan rasa pengertian yang tinggi
serta seorang Kepala Sekolah Sosaku Kobayashi (18 Juni 1893-1963) yang luar
biasa yang memiliki kedekatan emosional sangat tinggi dengan anak-anak, tiada
batas dan percaya pada kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah mereka
sendiri, pendiri Tomoe Gakuen yang membuat Totto-chan merasa nyaman dan tidak
merasa dianggap aneh atau berbeda dari anak lainnya.
Ada
ungkapan menarik dari Tetsuko Kuroyanagi tentang Kepala Sekolah Kobayashi dan
tentang sekolah di masa kecilnya yang membentuk perilakunya kini di akhir
tulisan:
“Mr.
Kobayashi yakin bahwa setiap anak dilahirkan untuk menjadi baik, yang dengan
mudah bisa rusak karena lingkungan mereka atau karena pengaruh-pengaruh buruk
orang tuanya. Mr. Kobayashi berusaha menemukan “watak baik” setiap anak dan
mengembangkannya agar anak-anak tumbuh menjadi orang dewasa dengan kepribadian
yang khas”
“Aku
yakin jika sekarang ada sekolah-sekolah seperti Tomoe, kejahatan dan kekerasan
yang begitu sering kita dengar sekarang dan banyaknya anak putus sekolah akan
jauh berkurang. Di Tomoe tidak ada anak yang ingin pulang ke rumah setelah jam
pelajaran selesai. Dan di pagi hari, kami tak sabar ingin segera sampai ke
sana. Begitulah sekolah itu.”