Diskusi Imajiner dengan Buku

Posted by EduwaUNJ on 14.12
oleh: Indra Restu Fauzi

Berdiskusi dengan buku merupakan sarana berdiskusi tanpa harus bertemu dengan tokoh-tokoh besar, penulis dan lain-lain yang ada di buku itu.
Berawal dari buku munif chatib “Sekolahnya Manusia” (buku tentang pendidikan yang pertama kali saya baca). Diskusi dengan buku ini begitu alot. Sebab kami sepaham, mengenai makna sekolah unggulan yang dikatakan unggul dengan seleksi ketat. Jelas yang membuat sekolah unggul tersebut bukan sekolahnya, melainkan anak-anak yang lolos seleksi itulah yang membuat sekolah terkesan menghasilkan anak-anak unggul.

Dari hasil membaca “sekolahnya manusia” timbul pertanyaan, proses apa pembelajaran di kelas dapat menghasilkan anak-anak cerdas?. Jawaban “batu loncatan” saya temukan diperkuliahan. Ada buku yang awalnya saya pikir menarik yaitu “strategi pembelajaran” (lupa judul dan penulisnya). Berisi mengenai dari model pembelajaran sampai metode pembelajaran -yang berlaku hanya- di kelas. Maka timbulah pertanyaan besar. Setiap dosen mengatakan bahwa pembelajaran haruslah bermakana. Tetapi masalahnya banyak kondisi kelas yang harus dikaji. Pertama apa mungkin dengan sistem 40 murid menghajar 1 guru di ruang tertutup bisa menghasilkan pembelajaran bermakna?, para guru tidak suka dengan siswa yang diam saja dan menginginkan siswa yang aktif berdiskusi, tetapi dengan kondisi di ruang tertutup, tentu akan membuat gaduh kelas, lalu mengenai penilaian aspek psikomotrik dan afektif, tetapi ujung-ujngnya penilaian hanya berupa kognitif, dan lain-lain.

Lalu munculah sosok Ayah Edy, dengan jargonnya “Indonesia Strong from Home”.  Saya belum membaca buku beliau, tetapi hanya sekedar membaca posting-posting jejaring sosial. Beliau lebih memandang pendidikan sebagai pencerdasan ahlak anak yang terutama. Dan itu dimulai dari keluarga. Lalu timbul pertanyaan, apa guna sekolah? Di sekolah hanya mengajarkan ilmu pengetahuan –walaupun melenceng-, sedangkan keluarga mengajarkan tentang ahlak.

Saya mencoba keluar dari pembahasan mengenai sekolah. Saya mencari kaitan antara ahlak dan ilmu pengetahuan yang menurut saya kedua hal ini haruslah terintegrasi dalam manusia. Akhirnya saya menemukan buku Prof. Winarno Surachmad “Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi”.  Walaupun tidak menjawab seutuhnya tetapi segala pertanyaan bisa dikerucutkan menjadi tiga point yaitu , Pendidikan yang memanusiakan (?), Pendidikan yang membudayakan (?) dan Pendidikan yang Menindonesiakan (?).

Pendidikan yang memanusiakan, saya rasa sudah sedikit dibahas, saat saya mulai mengenal munif chatib dan ayah edy. Tetapi disini belum terjawab mengenai kaitan ahlak dan ilmu pengetahuan. Jawabannya saya temukan setelah saya membaca “Filsafat ilmu” dan “Pedagogik Kritis”. Dalam buku filsafat ilmu, lebih menekankan tanggung jawab moral manusia terhadap ilmu pengetahuan dan berpikir ilmiah, sedangkan pedagogik kritis mengajarkan bahwa dalam pendidikan harus menjadikan peserta didik berpikir kritis terhadap permasalahan di lingkungannya. Manusia memiliki kelebihan yaitu berakal dan berahlak. Maka kedua hal ini harus dikembangkan potensinya. Inilah yang dinamakan memanusiakan.

Pendidikan yang membudayakan, pada point ini masih belum terjawab. Prof winarno hanya menjelaskan bahwa Indonesia memiliki budaya pancasila sebagai budaya berbangsa. Meurut Prof Tilaar dalam buku “kaleidoskop pendidikan”, sila pertama pancasila atau bisa disebut agama memiliki posisi terintegrasi dalam kebudayaan.

Pendidikan yang mengindonesiakan, point ini membuka pikiran saya tentang makna pendidikan, yang sebelumnya saya mengartikan pendidikan hanya berkaitan dengan kesuksesan secara akademik di sekolah. Prof winarno mengaskan tanpa sadar kita telah mereduksi makna pendidikan menjadi pesekolahan saja. Sebenarnya ada misi besar dari pendidikan nasional. misinya telah tertera dalam pembukaan UUD 1945 yang selama waktu sekolah dibaca seminggu sekali tanpa dimaknai.
Perjalanan berlanjut, ketika adanya buku prof. Soedijarto “Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita”. Walaupun terlalu birokratis, tetapi esensi yang didapat adalah fungsi dari pancasila dan UUD 45 sebagai landasan dan arah pendidikan nasional. Isi dari buku ini adalah gagasan-gagasan beliau mengenai kebijakan pendidikan nasional versi beliau.

Berbicara pendidikan sebenarnya kita sedang membicarakan kehidupan, dan kehidupan tak terlepas dari perubahan zaman. tantangan zaman hanya bisa dijawab dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan moral sebagai filternya. Maka pendidikan harus menghasilkan manusia cerdas dan peduli. Tidak cukup dengan peduli saja ataupun cerdas saja.

*Mahasiswa Pendidikan Fisika 2009 Universitas Negeri Jakarta
Categories: