Menggugat UU Perguruan Tinggi

Posted by EduwaUNJ on 19.38

 Wahyudi Prasetianto, Mahasiswa Pasca Sarjana FMIPA UNJ

I.      Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penting dalam kemajuan dan masa depan suatu bangsa. Maju mundurnya bangsa, tinggi rendahnya harkat dan martabat bangsa, dapat dikatakan pendidikanlah yang paling menentukan. Pendidikan adalah milik semua. Inilah kalimat sebagai deskripsi singkat dari pasal 5 dalam undang-undang no 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional. Pada hakikatnya setiap warga berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu dan berhak meningkatkan pendidikannya. 

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.  

Pendidikan merupakan salah satu ranah yang sedang menjadi sorotan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini dikarenakan pendidikan memiliki andil penting dalam pembangunan, karena pendidikan berusaha membangun mental atau jiwa-jiwa manusia Indonesia yang berkarakter unggul nan mulia. Bahkan bangsa-bangsa maju lainnya (Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, dan Jepang) berpegang pada suatu paradigma ”To Build Nation Build Schools".

Pendidikan tinggi adalah investasi besar untuk kemajuan bangsa ini. Jika menginginkan negeri ini maju, sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian penuh terhadap pendidikan tinggi. Pengeliminasian campur tangan pemerintah atas nama otonomi kampus, tidak bisa ditolerir. Masalah pendidikan adalah masalah regenerasi suatu bangsa. Bagaimana mungkin pemerintah angkat tangan dalam hal pendidikan? Padahal dari sinilah lahir  the next generation. Oleh karena itu, suatu hal yang mutlak adanya peran pemerintah dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan yang dapat diakses oleh masyarakat luas.

Pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia yang terkatung-katung pasca pencabutan PP 66 / 2010, yang sebenarnya merupakan efek berantai dari adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang mendapatkan resistensi kuat dari masyarakat karena membawa unsur-unsur akan pelepasan tanggung jawab total dari pemerintah/liberalisasi pendidikan (yang tidak sesuai dengan pembukaan dan pasal 33 UUD 1945) dan setelah melalui perdebatan alot akhirnya tanggal 13 Juli 2012 dunia pendidikan di Indonesia mencatat sejarah kelam, karena telah resmi disahkan oleh para wakil rakyat yang terhormat Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi. 

Lahirnya UU Perguruan Tinggi yang mengusung semangat otonomisasi kampus dalam melakukan pengeloaan perguruan tinggi memang dapat dipandang sebagai suatu angin segar dalam memperbaiki sistem dan kualitas pengelolaan perguruan  tinggi di Indonesia. Namun, tidak dapat di tepis justru otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi ini kental dengan liberalisme dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Liberalisasi adalah memberikan kebebasan sepenuhnya terhadap kepemilikan atau pengelolaan kepada sekelompok orang atau orang per-orang sehingga peran negara sangat minimal dalam pengelolaan terhadap suatu bidang (negara tidak mengintervensi terhadap suatu permasalahan, karena melindungi dan menjamin kebebasan kepemilikan).

Dalam pasal yang disebutkan dalam UU Perguruan Tinggi ini dijelaskan terkait pengelolaan Perguruan Tinggi secara otonom. Otonom berarti pengelolaan oleh lembaga yang bersangkutan secara mandiri, dan bukan oleh pemerintah dan dsinyalir dapat sebagai bibit awal bagian liberalisasi pendidikan. 

Otonomi pendidikan adalah menyerah-kelolakan pendidikan pada pengurus atau pejabat setempat. Mereka yang berasal dari berbagai unsur masyarakat dan menjadi sumber otoritas untuk menetapkan berbagai kebijakan pendidikan. Pendidikan didorong untuk semakin demokratis dan itu sebabnya wewenang pusat (pemerintah) harus semakin dibatasi. Termasuk wewenang untuk ikut menanggung (seluruh) beban pembiayaan dan memberikan kebebasan menurut kebutuhan institusi sekolah (pendidikan) tersebut. Otonomi kemudian berujung pada kebebasan sekolah untuk mengutip ongkos dan mengelola managemen mengikuti kebutuhan masing-masing. Dari otonomi berujunglah kepada semangat liberalisasi. Liberalisasi pendidikanlah yang merupakan akar masalah dari UU Pendidikan Tinggi. Dari segi politik, UU Pendidikan Tinggi, mendapatkan pengaruh yang sangat luas dari pihak eksternal (luar negeri), hal ini ditandai dalam Letter of Intent dengan pihak IMF (1997) dan WTO (1994) yang berdiri berdasarkan tiga nilai yaitu: privatisasi, regulasi, dan komersialisasi. Ketiga hal ini tentunya mempengaruhi dan menjadi dasar pembuatan kebijakan dalam berbagai bidang termasuk pada sektor pendidikan tinggi berbagai negara yang tergabung dalam IMF dan WTO.

Liberalisasi ini akan sangat berimplikasi pada biaya yang ditanggung oleh mahasiswa selama proses pembelajaran di universitas dan juga status kepegawaian dari para pekerja yang ada di lingkungan universitas yang bersangkutan. Namun, yang lebih ditakutkan lagi adalah terjadinya disorientasi tujuan pendidikan yang nantinya akan lebih menekankan pada aspek pencarian keuntungan (profit oriented) yang akan sangat mungkin terjadi apabila benar-benar terjadi liberalisasi pendidikan.

Contoh mutakhir adalah membuat universitas berkedudukan sebagai badan hukum dan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan dalam berbagai bentuk. Negara didorong untuk memfasilitasi setiap individu yang berhasrat mendirikan lembaga pendidikan dan mengurangi peran negara dalam membentuk institusi pendidikan.

Oleh karena itulah, seluruh elemen bangsa ini harus terus mengawal undang-undang yang dibuat oleh pemerintah, jangan sampai undang-undang tersebut (yang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara), justru merugikan rakyat itu sendiri, justru bertentangan dengan dasar negara Indonesia sendiri,  terlebih undang-undang tentang pendidikan, terkhusus undang-undang Perguruan Tinggi.

II.     Pembahasan
 Tertanggal 13 Juli 2012, Dewan Perwakilan Rakyat, melalui sidang paripurnanya telah mensahkan UU Perguruan Tinggi tahun 2012, yang terdiri dari 12 Bab dan 100 pasal. Disahkanya UU ini telah melukai perasaaan bangsa ini untuk dapat terbebas dari kunkungan belenggu  komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Polemik terus berlanjut, karena derasnya agar UU ini dibatalkan / judicial review.

Hipotesis yang paling kuat adalah karena inkonstitusionalisasi pengelolaan pendidikan tinggi. Penulis memaknai sebutan inkonstitusionalisasi sebagai proses yang sengaja, sadar ataupun tidak sadar, untuk menciptakan kondisi yang tidak sesuai dengan konstitusi. Setidak-tidaknya ada beberapa pasal dalam Undang-undang tentang Pendidikan Tinggi ini yang ber-aroma pertentangan dengan UUD 1945 sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara :
Pasal 62-68 UU PT
Muatan pada pasal ini yang bertulis memberikan otonomisasi kepada perguruan tinggi untuk melakukan pengelolaan keuangan universitas secara pribadi memberi kesan bahwa pemerintah mulai melepaskan tangan dari tanggung jawab untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, padahal konstitusi telah menjamin dan meng-anggarkan dana APBN sekitar 20% guna kepentingan pendidikan. Konsep ini sangat bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 alinea ke 4, tentang tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 73 ayat 5 UU PT
Pasal 73 ayat 5 ini dinilai agak bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 tentang penerimaan mahasiswa baru, di ayat 1 dikatakan harus melewati seleksi nasional, sedangkan di ayat 5 dikatakan seleksi akademis non-komersial, dalam praktiknya perguruan tinggi banyak yang mengambil celah pada ayat ke-5 tersebut dengan menyelenggarakan ujian mandiri, yang biaya daftarnya saja lebih mahal, dan juga ketika spp per-semester jauh berbeda dibanding jalur seleksi nasional, dan ini sangat bertentangan dengan tujuan di pasal 73 ayat 5 tersebut. Contoh : UNJ dengan PENMABA-nya. Oleh karena itulah, sistem seleksi mandiri yang diselenggarakan kampus, sebaiknya dihapuskan. (pasal 73 ayat 5 dihapuskan)
 Pasal 74 ayat 1 UU PT
Pasal ini mengandung diskriminasi terutama yang berkaitan dengan penerimaan mahasiswa baru. Dalam UU ini, setiap PTN diwajibkan menyiapkan kuota minimal 20% bagi mahasiswa tidak mampu secara ekonomi namun mempunyai potensi akademik tinggi untuk kuliah di PTN tersebut. Tentunya hal ini jelas menjadi diskriminasi. Hal ini dikarenakan ada segmen calon mahasiswa yang tidak bisa mengakses PTN, yaitu segmen calon mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi, namun juga potensi akademiknya biasa-biasa saja. Hal ini harusnya menjadi perhatian pemerintah juga, karena jumlah dari segmen ini sangat banyak.

Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945 benar-benar menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak dasar rakyat Indonesia. Pasal 33 (1) menjadi justifikasi kuat hal ini karena di sana ada frase “setiap”. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan mencerdaskan sebagaian dari bangsa saja. Artinya harus adanya proses pendidikan yang dapat dirasakan oleh semua elemen bangsa yang ada. Sehingga jika ada satu orang rakyat sekalipun, yang tidak dapat mengakses pendidikan karena kebijakan para pengelola negara ini, maka negara kita adalah negara gagal. Gagal dalam menunaikan hak rakyatnya.
Pasal 76 ayat 2c UU PT
Adanya mekanisme “student loan” atau sistem pinjaman bagi mahasiswa yang tidak mampu untuk menyelesaikan studinya  dapat dipandang sebagai pengangkangan terhadap ketentuan Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 dan  alinea keempat pembukaan undang-undang dasar, yakni salah satu tujuan bangsa ini didirikan ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya, namun sayangnya pemerintah seakan lupa dengan kewajibannya untuk membiayai orang-orang miskin guna mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan adanya pasal pembunuh rakyat miskin dan kecil ini, orang miskin pun seakan  disuruh berhutang  bila ingin mendapatkan hak pendidikannya. Jelas, klausul ini melegitimasi kapitalisme pendidikan yang melihat pendidikan bukan sebagai tanggung jawab negara, tetapi dalam kerangka profit. Dalam bahasa lain, UU ini mengajarkan warga negara untuk berutang. Padahal, dalam pasal 31 UUD 1945 ayat (2), pendidikan adalah hak rakyat. 

Secara sosiologis, kita bisa memotret pola relasi pembiayaan seperti ini sebagai upaya mendidik warga negara untuk berutang. Artinya, alih-alih menyiapkan subjek pendidikan agar piawai melakukan transformasi sosial bagi masyarakatnya (sebagaimana dikehendaki UU Sisdiknas dan cita-cita perguruan tinggi), pemerintah justru membuat warga negara “berpikir keras” melunasi utangnya kepada warga negara. Hal ini tentu tidak sesuai dengan cita-cita mulia pendidikan, apalagi dalam konteks semangat kerakyatan yang diharapkan tampil dalam perguruan tinggi.
 Pasal 84 UU PT
Pasal ini secara tegas mengatakan bahwa pihak masyarakat boleh berpartisipasi dalam kegiatan pendanaan perguruan tinggi. Hal ini sebenarnya membuka celah yang sangat besar bagi masuknya para kapitalis, baik domestik maupun asing. Logika para investor ini sudah jelas, menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan nantinya hal yang paling mudah dilakukan untuk mendapatkan keuntungan adalah dengan menaikkan biaya pendidikan. Akhirnya, mahasiswa (rakyat) yang jadi korban. Selain itu, yang lebih berbahayanya lagi, jalur yang biasa mereka tempuh adalah dengan memaksakan suatu kurikulum/sistem akademik tertentu untuk diterapkan dan diajarkan dikampus, yang tentunya sesuai dengan keinginan “mereka”, hal ini dikarenakan bargaining position kuat. Tak ada makan siang yang gratis, begitulah pepatah mengingatkan. Contoh : UIN Syarif Hidayatullah dengan heurmeneutika Al-Qur’an.
Pasal 85 ayat 2 UU PT
Dalam aspek pendanaan tertulis bahwa  Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Kalimat ini, jika kita amati, menjadi celah awal bagi legalnya pembebanan tanggung jawab pendanaan pemerintah kepada masyarakat. Karena tidak ada patokan yang jelas mengenai berapa biaya sesuai kemampuan mahasiswa, orang tua dan pihak lain yang membiayainya, ujung-ujungnya pihak kampuslah yang menentukan besaran angkanya, akibatnya mahasiswalah kembali yang dibebankan. Seakan-akan tanggung jawab pemerintah “mulai dibagi-bagi bebanya dengan masyarakat. Padahal, kita mengetahui bahwa dalam cita-cita bangsa yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945, dijabarkan dengan tegas bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara dalam hal ini merujuk kepada pengelola negara, yaitu pihak eksekutif, legislative, bahkan yudikatif.

Hal ini bertentangan dengan semangat mencerdaskan kehidupan bangsa yang dibebankan kepada pemerintah sebagai eksekutor institusi negara, sekaligus menyalahi Pasal 31 (3) UUD 1945. Frase pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan berarti bahwa biar bagaimanapun, pemerintahlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas usaha untuk menyelenggarakan pendidikan, sekalipun dana yang ada terbatas

Pasal 90 UU PT
 Wajah pasal ini, dapat menggerus ideologis bangsa, sebab adanya legalisasi bagi perguruan asing untuk masuk di Indonesia akan mengundang dinamika pergolakan baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Kehadiran PTA bisa memudarkan jati diri bangsa dan ideologi bangsa ini. Keberadaan  Perguruan Tinggi asing di Indonesia rentan dengan semangat liberalisme dan kapitalisme. Memberi celah kepada PTA untuk masuk ke Indonesia berarti telah menyuntikan virus dan menancapkan kuku-kuku kapitalis di negeri ini, meskipun mentri Pendidikan menyatakan akan selektif dalam memberi izin serta tetap akan mewajibkan adanya pendidikan pancasila, agama dan bahasa Indonesia di PTA asing yang ada di Indonesia, namun hal tersebut sama  sekali tidak dapat menjadi tameng pelindung virus  liberal yang identik dengan asing untuk meracuni pemikiran pemuda bangsa ini. Hal ini berarti bahwa perguruan tinggi asing dilegalisasi untuk “investasi ideologi” dengan menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Kondisi saat ini saja ketika izin PTA belum diberikan di Indonesia telah banyak pemuda bangsa yang men-dewa-kan sistem pendidikan asing dan lebih memilih berkiblat kepada asing, lalu bagaimana nantinya ketika PTN di Indonesia dipaksakan masuk dalam satu arena persaingan bebas dalam dunia pendidikan tinggi, sementara pendidikan di negara ini masih jauh dari kata “setara“ dan tidak memiliki visi nasional yang jelas, bisa-bisa PTN Indonesia gulung tikar dan runtuh tak berbekas tergusur oleh dominasi Perguruan Tinggi Asing.

Dengan skema yang seperti ini, kita seperti bersiap menyambut liberalisasi pendidikan tinggi secara lebih terkoordinasi dan terlindungi oleh negara. Wajar jika, meminjam istilah Stephen Gill, perumusan UU Pendidikan Tinggi ini tak lebih dari sebuah proses neoliberal constitutionalization, yang membuat negara hanya menjadi penjamin kekuasaan pasar di negeri ini.

Konsekuensi dari liberalisasi pendidikan adalah semakin lepasnya peran negara dalam membiayai pendidikan. Sebagai gantinya, perguruan tinggi akan mencari sumber pembiayaan lain untuk memastikan operasionalisasi akademik tetap berjalan. Dengan demikian, kenaikan biaya masuk pendidikan tinggi menjadi tak terhindarkan. Selain kuliah kian mahal, kampus juga berpotensi besar melakukan komersialisasi atas fasilitas pendidikan. Ini yang kemudian terjadi dalam konsep PT BHMN maupun BHP yang telah dibatalkan.

Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah sebagai negara yang masih berkembang, sesuai amanat undang-undang Universitas di Indonesia harus bebas biaya. Seperti Jerman yang sudah maju, bebas SPP dengan buka partisipasi seluruh masyarakat. Sehingga dapat kita simpulkan, berdasarkan pada kajian tersebut, kehadiran UU PT ini sungguh bertentangan dengan cita-cita dari negara Indonesia, yaitu salah satunya negara berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan berdasarkan fakta UU ini diperoleh ternyata pendidikan pun masih menjadi hal yang langka bagi seluruh rakyat Indonesia, UU PT ini tak ubahnya wajah baru dari UU BHP yang pernah di batalkan oleh lembaga Mahkamah Konstitusi. Sehingga MK harus kembali membatalkan UU PT yang merupakan produk ganti baju dalam usaha komersialisasi dan liberalisasi pendidikan di negeri ini. Jadi, Sekali lagi kita harus menggugat UU Perguruan Tinggi ini (pasal-pasal yang bermasalah) !!! 

III.    Catatan Penutup (Kesimpulan)
  1. Pendidikan merupakan faktor penting penentu kemajuan dan masa depan suatu bangsa.
  2. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat luas.
  3. Pendidikan tinggi adalah investasi besar untuk kemajuan bangsa ini.
  4. UU Perguruan Tinggi yang mengusung semangat otonomisasi kampus dalam melakukan pengeloaan perguruan tinggi kental dengan liberalisasi pendidikan.
  5. Liberalisasi pendidikanlah yang merupakan akar masalah dari UU Pendidikan Tinggi
  6. UU Perguruan Tinggi dinilai inkonstitusionalisasi dengan UUD 1945
  7. Beberapa pasal yang dianggap inkonstitusionalisasi dengan UUD 1945                    sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara :
·         Pasal 62-68 UU PT  tentang pengelolaan keguruan tinggi
·         Pasal 73 ayat 5 UU PT tentang penerimaan mahasiswa baru
·         Pasal 74 ayat 1 UU PT tentang penerimaan mahasiswa baru
·         Pasal 76 ayat 2c UU PT tentang pemenuhan hak mahasiswa
·         Pasal 84 UU PT tentang pendanaan dan pembiayaan
·         Pasal 85 ayat 2 UU PT tentang pendanaan dan pembiayaan
·         Pasal 90 UU PT tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga negara lain
    8. UU Perguruan Tinggi 2012 merupakan produk “ganti baju” dari UU BHP
    9. Mari menggugat pasal-pasal bermasalah dalam UU Perguruan Tinggi 2012 di Mahkamah Konstitusi

IV.  Daftar Pustaka
1.    Prasetyo, Eko. 2005. Orang Miskin Tanpa Subsidi. Magelang : Resist Book
2.    Prasetyo, Eko. 2009. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Magelang : Resist Book
3. Soedijarto. 2008. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta :Kompas Granedia
4.    Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional no 20 tahun 2003
5.    Undang-Undang Perguruan Tinggi tahun 2012
6.    www.bemunand.ac.id/BEM KM Unand Tolak UU PT
7.    www.hti.org/ Aroma Liberalisasi Pendidikan dalam RUU Pendidikan Tinggi
9.    www.bem.km.ugm.ac.id/ Sekali Lagi, Menolak Draft RUU Pendidikan Tinggi !
Categories: