Bimbingan Belajar sebagai Kapal Bocor Salah Arah

Posted by EduwaUNJ on 15.21



Tema: Bimbingan Belajar

Bimbel itu solusi terbaik? Lalu dimana peran sekolah?

“Bimbel itu solutif, menawarkan belajar yang menyenangkan. Aku tiap mau menghadapi ujian nasional pasti mengikuti bimbingan belajar, biasanya di n*r*l fi*ri. Beda banget sama di sekolah yang ngajarnya kurang jelas, ngga kondusif, gurunya juga ngga friendly, kalo di bimbel semua materi masuk dan gampang banget ngertinya. Dikasih tau cara singkatnya juga kalo matematika. Coba disekolah, belajar ngga ada intinya, kesana kemari dan ujungnya tetep ngga ngerti. Pokoknya keberadaan bimbel ini bagus banget deh. Ngga kebayang kalo bimbel ngga ada, UN mau gimana....” itu ungkapan Melati, siswa kelas 3 SMA saat ditanya akan pentingnya keberadaan bimbingan belajar.

Melati, 18 tahun, 3 SMA.

Ya, bimbel atau bimbingan belajar. Siapa yang tidak kenal dengan lembaga pengajaran yang satu ini? Lembaga ini sangat populer dan digandrungi pelajar – pelajat terutama di kota besar. Seolah menjadi penentu keberhasilan mengerjakan tes – tes, bimbel mendapat lirikan maut para pengusaha karena keuntungan yang ditawarkan cukup menggiurkan. Fenomena ini menarik tim untuk mencari tahu lebih dalam peran dan fungsi bimbel bagi pendidikan Indonesia.

Edi Subkhan, dosen Teknologi Pendidikan UNNES (Universitas Negeri Semarang) peminat pedagogi kritis yang dihubungi oleh tim, bersedia memberikan tanggapan dari kasus Melati diatas.

Si anak suka pada hal – hal yang praktis, singkat, dan to the point. Sebenarnya itu karena kecenderungan anak yang learning to the test. Maka, ketika bimbel memberi yang praktis, dan yang praktis itu diwujudkan di sekolah lewat aassessment model pencil and paper test, jelas anak akan lebih memilih bimbel daripada sekolah. Akibatnya, si anak akan merasa bahwa proses belajar itu tidak penting, karena penilaiannya bukan berdasarkan pada proses, melainkan skor akhir yang hanya menilai memori ingatan saja. Kalau sudah begitu, anak tidak akan terasah nalar pikirnya, tidak diasah menghayati proses menemukan, inquiry, dll.

Jika indikator keberhasilan siswa dalam belajar adalah keberhasilan siswa mengerjakan tes model pencil and paper test, maka tidak heran jika beberapa pihak mempertanyakan mengapa hingga saat ini sekolah dapat bertahan, sedangkan perannya sudah diambil alih oleh bimbel. Edi menanggapi, bahwa sekolah masih bertahan karena sekolah adalah satu - satunya lembaga pendidikan yang menerima pendistribusian paket soal Ujian Nasional. Sekolah pula satu – satunya lembaga yang berhak menerbitkan ijazah. Jadi menurut beliau, jika diibaratkan peran bimbel dengan tujuan pendidikan Indonesia, bimbel adalah kapal bocor yang sedang melaju ke arah yang salah.

Fenomena mahasiswa yang juga menggunakan bimbel sebagai lahan uang jajan atau mencari pengalaman mengajar juga sebenarnya adalah demi kebutuhan personal, bukan kontribusi memperbaiki sistem pendidikan yang carut marut. Jadi, bimbel kedepannya akan semakin menjamur dan tumbuh subur selama sistem pendidikan masih berorientasi pada tes – tes semata.

Maka, kesimpulannya adalah jika memang indikator keberhasilan pendidikan kita dinilai dari keberhasilan mengerjakan tes – tes, maka bimbel adalah solusinya. Namun, tujuan pendidikan kita sungguh bukan sekedar ingatan – ingatan yang kemudian harus dituangkan dengan metode pencil and paper test semata.

Categories: