Rantau 1 Muara

Posted by EduwaUNJ on 10.56





Oleh: Laela Siti Nur Laela

Bertualanglah sejauh mata memandang.
Mengayuhlah sejauh lautan terbentang.
Bergurulah sejauh alam terkembang.
Merantaulah. Gapailah setinggi-tingginya impianmu
Berpergianlah. Maka ada lima keutamaan untukmu,
melipur duka dan memulai penghidupan baru, memperkaya budi,
pergaulan yang terpuji serta meluaskan ilmu.
Merantaulah. Maka kau akan menemukan kemerdekaanmu.

Alif fikri adalah seorang pemuda perantauan dari tanah Minangkabau. Seumur hidupnya Alif tak pernah menginjakan kaki keluar tanah Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain di sawah dan mandi di Danau Maninjau. Ketika lulus Madrasah Tsanawiyah Alif sudah berkeinginan untuk masuk SMA, namun Ibunya tidak merestui karena selain masalah biaya beliau ingin agar anaknya pandai dalam ilmu agama dan masuk Madrasah Aliyah. Ibunya ingin agar dia menjadi Buya Hamka walaupun sebenarnya Alif ingin menjadi Habibie. Akhirnya dengan setengah hati Alif pergi meninggalkan Sumatera dan menuju sebuah desa dipelosok Jawa Timur dan menuruti perintah ibunya: belajar di pondok.


Di hari pertama di Pondok Madani Alif terkesima dengan “mantera” sakti Man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dipondok Madani Alif berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Goa. Dibawah menara masjid mereka menunggu Magrib sambil menatap awan sore yang tersinari cahaya dari ufuk barat. Awan-awan itu menjelma menjadi Negara dan benua impian mereka masing-masing, mereka tidak tahu kemana impian akan membawa meraka yang mereka tahu adalah: jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Hingga akhirnya impian membawa Alif pergi ke Kanada.


Kepercayaan diri Alif sedang meninggi, sudah separuh dunia dia kelilingi, Semenjak di pondok Madani Alif aktif menulis, dia dulu menjadi wartawan majalah Syam dipondok Madani, sehingga tulisannya tersebar dibanyak media dan dia diwisuda dengan nilai terbaik, perusahaan mana yang tidak terigiur untuk merekrutnya. Namun Alif lulus disaat yang tidak tepat, akhir tahun ’90-an. Indonesia saat itu sedang ditimpa krisis ekonomi dan dikoyak reformasi. Lowongan pekerjaan sulit dicari. Kepercayaan dirinya pun goyah dan Alif kemudian pergi mengadu nasib ke Ibukota. 

Secercah harapan muncul ketika Alif diterima bekerja di salah satu majalah berita nasional yang mungkin hampir setiap jurnalis ingin bekerja disana : majalah Derap. Disana hatinya tertambat pada seorang gadis yang kelak gadis tersebut menjadi isterinya : Dinara.


Sambil bekerja sebagai wartawan di majalah Derap, Alif juga tekun belajar untuk mendapatkan beasiswa Fulbright untuk kuliah S-2 di Amerika Serikat, beasiswa yang terkenal sulit didapat. Namun siapa sangka berkat ketekunannya mempelajari TOEFL selepas pulang kerja akhirnya dia mendapatkan beasiswa tersebut dan terbang ke Washington DC bersama istrinya. Sampai terjadi tragedi 11 September 2001 di New York yang menggoyahkan jiwanya. Alif harus kehilangan orang dekatnya ketika pertama kali dia datang di Amerika : mas Garuda. Setelah peristiwa itu Alif dipaksa memikirkan kembali misi hidupnya. Darimana dia bermula dan kemana akhirnya dia akan bermuara. 

“Mantra” ketiga “man saara ala darbi washala” (siapa yang berjalan dijalannya akan sampai ditujuan) menuntun pencarian misi hidup Alif. Hidup pada hakikatnya adalah perantauan. Suatu masa akan kembali ke akar, ke yang satu ke yang awal. Muara segala muara. Rantau  muara adalah kisah pencarian tempat berkarya, pencarian belahan jiwa dan pencarian dimana hidup akan bermuara.
Categories: