Soft Launching Sowing the Seed of Freedom
Posted by EduwaUNJ on 08.46
Dalam jadwal, acara dimulai pukul
09.00 pagi di aula perpustakaan UNJ, Kampus A Rawamangun. Namun, lantuntan musik
instrument bernada kenusantaraan sudah bergaung sejak pukul 07.00 menemani
hentakan kesibukan panitia acara Dies Natalis UNJ ke 50 yang diemban oleh FIP
pagi itu. Paparan foto – foto Prof. Tilaar beserta istri juga sudah wara – wiri
pada dua sisi widescreen di kanan dan kiri panggung. Pukul 08.30 terlihat
nyaris seluruh kursi yang tersedia dalam ruangan telah diisi oleh peserta.
Prof. Tilaar besera istri juga sudah datang dan melihat tempat acara yang bia dikatakan
sudah sangat siap. Peserta yang berjejalan di waktu yang sangat awal adalah
representasi dari semangat kaum muda calon guru dalam berkenalan kembali dengan bapak pendidikan bangsanya, Ki
Hajar Dewantara.
Dalam sambutannya pada Soft
Launching dan bedah buku Sowing the Seed, Ki Hajar Dewantara as pioneer of
critical pedagogy, prof. Tilaar mengungkapkan pengalamannya berbincang dengan
beberapa intelektual di Harvard University dalam sebuah seminar. Poin yang
paling mencengangkan adalah, tidak ada satupun peserta seminar yang pernah
mendengar tentang Ki Hajar Dewantara. Ya, seorang bernama asli Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat yang lewat Dekrit Presiden no. 316 tahun 1959 hari lahirnya
ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional itu, belum dikenal di forum pemikir
internasional.
Acara bedah buku ini
dimulaidengan pembukaan dari Dekan I FIP dan penulis buku, Prof. Tilaar. Kemudian
acara diteruskan dengan pembedahan yang dipaparkan oleh Prof. Soedijarto dan
Prof. Hamid Hasan. Sesi selanjutnya adalah sesi tanya jawab yang berlangsung
seru dan menghidupkan suasana bedah buku.
Sebagai seorang bapak pendidikan,
Ki Hajar Dewantara sudah selayaknya disebut sebagai pelopor pedagogi kritis di
Indonesia. Bahkan pak Jimmy Paat mengungkapkan bahwa jauh sebelum gagasan Paulo
Freire dan Ivan Illich, Ki Hajar Dewantara sudah lebih dahulu menulis tentang
pendidikan yang membebaskan, humanis, dan memanusiakan manusia dengan titik fokus
pada salah satu poin pemikirannya adalah ‘menghamba pada anak’. Penghambaan
pada anak adalah manifestasi pemikiran KHD yang merujuk pada pedulinya, kecintaan
dan menghargai anak bangsa melebihi kata ‘Taman’ pada Perguruan Taman Siswa
yang sangat ramah secara semantik. Learning is fun. Belajar itu menyenangkan.
Prof. Soedijarto menggarisbwahi
pembedahan lewat lima poin kritik terhadap buku yang sudah dibagikan dalam
bentuk selebaran pada peserta. Ki Hajar Dewantara lewat Panca Dharma dan sistem
Amongnya merupakan penjabaran pemikiran pendidikan yang bukan hanya berkutat
dalam kelas saja, melainkan juga dalam
konteks makroskopis. Pertanyaan terpenting yang dikemukakan Prof. Soedijarto
adalah lewat misi pendidikan yang tersemat dalam preambul, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa, kemudian itu diartikan dalam pandangan Prof. Soedijarto
sebagai cita – cita untuk mewujudkan bangsa yang meninggalkan ketradisionalan
dan feodalistiknya menuju modernitas dan masyarakat yang demokratis. Kemudian,
dengan kebudayaan bangsa yang begitu macam rupa, apakah pedagogi
kritis dapat menjawab tantangan tersebut?
Prof. Hamid Hasan kemudian membedah isi buku
dengan mengklaisifkasikannya berdasarkan bab – babnya. Argumen dan kritik yang
paling ditekankan adalah pada pembahasan kurikulum 2013, yaitu pada bagian
perbandingan antara KTSP dengan Kur13. Kedua kurikulum tersebut tidak bias dibedakan
karena satu sama lain memang berbeda walaupun kur13 memang merupakan
pengembangan dari KTSP. Masyarakat yang senantiasa berubah seiring perkemangan
zaman, maka kurikulum juga akan terus berubah mengikutinya. Kurikulum berbasis
satuan pendidikan terbukti sudah dihapuskan dan diganti dengan kurikulum
nasional di Australia dan Inggris.
Pada sesi tanya jawab dan
diskusi, Prof Edi Swasono memaparkan bahwa dalam preambul, ‘mencerdaskan
kehidupan bangsa’ akan lain artinya dengan ‘mencerdaskan bangsa’. Kata ‘kehidupan’
disana merupakan penanda tidak layak kehidupan dipisahkan dengan pendidikan.
Maka, kata cerdas dalam tujuan pendidikan bukan semata – mata demi memperoleh
segudang prestasi dan olimpiade – olimpiade. Dalam pemikiran KHD, spirit
pendidikan adalah untuk memerdekakan. Merdeka disini diartikan mampu berdiri
sendiri. Bukan terbawa dan terdikte oleh arus globalisasi, karena seharusnya,
kita turut merusmuskan globalisasi itu sendiri. Jadi, bukan hanya mbebeki.
Masih dalam paparan Prof. Edi,
KHD pernah mengatakan bahwa hanya di negeri ini (Indonesia), ada suatu negeri
terjajah yang mendirikan sekolah untuk melawan penjajahan negerinya. Semangat
yang dikobarkan oleh KHD kala itu adalah pendidikan yang memerdekakan. Yang
sangat ingin diperjuangkan adalah mengubah budaya. Budaya bangsa kita yang kala
itu sudah terpatri rekat menganggap diri sebagai bangsa yang terjajah sudah
sejak lahir. Apakah mudah dalam mengubah budaya? Sangat sulit. Karena kita
bukan lagi kuli untuk bangsa lain. Harus melepaskan diri dari keterjajahan yang
masih saja membelenggu hingga kini. Sebagai contoh, dalam konferensi WTO di
Bali pada beberapa waktu yang lalu. Kita diam saja. India berjuang habis –
habisan menentang dihapuskannya sistem subsidi untuk rakyat. Karena penghapusan
kebijakan tersebut berarti menjadikan petani – petani sebagai martir demi
mengamankan kantong – kantong para pengusaha. Argumen untuk ujian nasional yang
dilontarkan oleh Prof Edi adalah, kebhinekaan mesti memiliki platform yang sama
untuk menggapai ke ika annya. Maka, Ujian Nasional tak mengapa tetap
dilaksanakn asalkan memasukkan nilai – nilai kebangsaan di dalamnya.
Prof lain dari FIS sebagai
partisipan diskusi kemudian menyampaikan keprihatinannya atas terdidiknya
banyak orang namun sedikit yang tercerahkan. Akibatnya, tidak sedikit orang –
orang yang pintar dan memiliki prestasi akademik yang gemilang namun tega untuk
melakukan korupsi dan kejahatan lainnya. Perlu juga hubungan yang jelas antara
kebudayaan dengan pendidikan nasional. Prof ini juga menebak isi dari buku yang
baru saja diluncurkan Prof Tilaar, yaitu keprihatinan yang mendalam atas
hilangnya roh dalam pendidikan nasional kita saat ini. Penekanan pada konsep humanistik.
Diskusi penutup sekaligus kritik
paling mutakhir terlontar pada penanya terakhir, yaitu Pak Jimmy Paat.
Nihilisme yang menjadi poin dalam komentar Prof. Soedijarto terhadap konsep
pendidikan Ivan Illich dan Paulo Freire adalah suatu kekeliruan. Pak Jimmy juga
mengatakan argumennya bahwa pendidikan nasional kita saat ini sungguh sangat
jauh dengan konsep pendidikan yang disusun oleh Ki Hajar Dewantara. Meskipun
kita tahu bahwa salah satu semboyan pendidikan; tut wuri handayani, telah
digunakan di seluruh lambang institusi persekolahan nusantara. Contohnya, KHD
yang mengkritik dengan keras tepri behavioristik dimana reward dan punishment
tidak layak digunakan dalam proses pendidikan. KHD meyakini bahwa anak tidak
boleh melakukan sesuatu dibawah baying – baying hukuman. Seperti kita tahu
bahwa reward-punishment adalah metode yang hingga kini masih digunakan oleh
guru – guru kita. Dan diajarkan pula dalam mendidik calon – calon guru kita. Pak
Jimmy juga menyampaikan mirisnya mahasiswa – mahasiswa calon guru yang sangat
jarang membahas atau melakukan diskusi tentang pemikiran KHD. Pertanyaan yang
diajukan Pak Jimmy adalah, adakah diskusi antara Soekarno yang sangat pro feminism
dengan KHD sebagai pengsusung pedagogi kritis?
Terkait Ujian Nasional, Prof
Soedijarto menanggapi bahwa kesalahan terbesar ujian nasional adalah frekuensi
dan fungsinya sebagai penentu kelulusan siswa dari lembaga pendidikan yang
diuji setiap tahunnya. Amerika dengan SAT juga memiliki kontroversi yang sama. Sesungguhnya, UN tidak apa – apa diadakan
asalkan memang ditujukn untuk pemetaan, bukan penentu lulus-tidak nya seorang
siswa. Andai saja UN diadakan empat tahun sekali. Fungsi UN sebagai salah satu
penentu kelulusan seorang siswa secara tidak langsung telah menjadikan mesin
scan sebagai Tuhan. Karena berkontribusi aktif dalam penentuan kelulusan atau
nasib seorang siswa. Tesis Prof Soedijarto juga menemukan fakta bahwa anak akan
mempelajari apa yang akan diujikan. Jika masih saja bertahan dengan konsep
Ujian Nasional dengan konten yang seperti sekarang dan fungsi yang seperti
sekarang, maka jelaslah bagaimana hakikat belajar dikaburkan, tujuan pendidikan
dimelencengkan. Bukan lagi mencerdaskan kehidupan bangsa jika memang dilakukan
dengan perjuangan menghapal. Karena orang yang paling banyak pengetahuannya,
adalah orang yang paling tak berguna. Karena pengetahuan hanya sekedar tahu
akibat hapalan tadi.
Suatu telaah pemikiran mengenai
bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara sebagai pelopor pedagogi kritis
di bumi nusantara berlangsung dari pukul 09.00 sampai pukul 12.00. Dengan
diskusi yang demikian dalam, semoga menjadi langkah baru bagi para calon
pendidik bangsa untuk melepas keterbelengguannya dari mental sebagai bangsa terjajah
dan selalu mbebek (menjadi bebek atau
pengikut) agar dapat berdiri sendiri degan segala yang kita miliki.
Hidup Pendidikan Indonesia!
oleh:
Kurnia Ismi T (mahasiswi Sastra Inggris UNJ 2010)
Indri Septiani (mahasiswi ISP UNJ 2013)
Catatan:
Dasar
Taman Siswa tahun 1947 terkenal dengan
nama Panca Dharma yang memuat :
1.
Dasar Kemerdekaan
2.
Dasar Kebangsaan
3.
Dasar Kemanusiaan
4.
Dasar Kebudayaan
5.
Dasar Kodrat Alam
