Prophetic Learning

Posted by EduwaUNJ on 23.36
Oleh: Suryani Achtasuri


Menjadi Cerdas Dengan Jalan Kenabian

Judul buku: Prophetic learning, menjadi cerdas dengan jalan kenabian
Penulis: Dwi Budiyanto
Penerbit: Pro-U Media
Tahun/tempat terbit: 2009/ Yogyakarta

“Sesungguhnya jiwa saya merasa senang dengan ilmu; dengannya jiwa saya semakin kuat.”
-Ibnu Taimiyah

                Pernahkah kita mengalami masa-masa sekolah disaat kita begitu menanti bel berbunyi yang menandakan waktu berakhirnya kegiatan belajar mengajar? Atau mungkin kala itu kita pernah bertanya-tanya: untuk apa saya belajar fisika? Apakah kelak saya akan menghitung besar usaha saya mendorong pintu? Untuk apa saya belajar sejarah? Apakah kelak ketika wawancara pekerjaan saya akan ditanya tahun kejayaan kerajaan majapahit? Ah, mungkin dulu banyak dari kita yang kerap memikirkan pertanyaan-pertanyaan diatas.

                Disadari atau tidak, hari ini banyak para pembelajar yang seperti kehilangan jati diri: mempertanyakan manfaat dari ilmu nya, pasif dalam menggali ilmu baru, enggan menerima masukan, dan masih banyak lagi degradasi hal postitif lainnya yang menyebabkan hilangnya jiwa-jiwa pembelajar dalam diri tiap manusia.

                Keresahan inilah yang coba dijawab oleh Dwi Bdiyanto, dalam bukunya yang berjudul “Prophetic Learning, Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian.” Buku yang sekilas berbau regilius ini nampaknya berisikan nilai-nilai universal yang bisa diterapkan ke setiap pribadi pembelajar. Dalam buku ini, kita diajak untuk melihat bagaimana suri tauladan terbaik sepanjang masa, Rasulullah saw, beserta para sahabatnya, dan para shalafus shalih1 , ternyata memiliki jiwa pembelajar yang luar biasa tinggi sehingga mampu menghasilkan perubahan-perubahan besar dalam sejarah hidup manusia.

                Dwi budiyanto membagi buku ini kedalam sembilan bagian: bagaimana seorang muslim belajar, cerdas dengan menata pikiran, cerdas dengan menata mental, cerdas dengan menata fisik, enrichment: langkah mencerdaskan, prophetic learning habits, prophetic teaching: menjadi guru inspiratif, sinergi: berjamaah yang mencerdaskan, dan merancang kontribusi muslim pembelajar. Dibagian pertama, bagaimana seorang muslim belajar, kita akan disuguhi konsep ideal bagi para pembelajar yang merujuk dari konsep-konsep para pembesar islam, diantaranya adalah Sayyid Quthb, Imam Syafi’i, Imam Malik. Tiga bagian berikutnya dari buku ini mengajarkan kita untuk mampu mengembangkan potensi pikiran, mental, serta fisik, untuk menjadi modal kita sebagai seorang pembelajar. Kita tak akan dijemukan karena penulis banyak menggunakan kisah-kisah terdahulu, ilustrasi,serta grafik dalam menyampaikan gagasan nya. bagian berikutnya mengajak kita untuk meng-enrich, tak pernah berhenti memperkaya diri untuk menyokong proses pembelajaran. Dan tiga bagian terakhir, disinilah kita mengetahui bahwa proses pembelajaran pada akhirnya berujung untuk menyebarkan kembali apa yang telah kita dapat ke orang lain. Berjalan sembari memperkuat ilmu kita dalam jama’ah. Dan memberikan manfaat dan aksi nyata dari ilmu yang kita pelajari ke orang banyak.

                 Dan bagian paling menarik tentu dapat kita temui di bagian keenam: prophetic learning habits. Disini kita diberi resep rahasia tentang bagaimana cara belajar Rasulullah saw, para sahabat, dan para shalafus shalih sehingga dengan ilmu itu mereka bisa menjadi generasi terbaik umat manusia yang memberikan kontribusi luar biasa bagi jagat raya. Dan pada bagian ini, mungkin kiita akan merasa “tertampar”. Karena tanpa kita sadari, begitu banyak kebiasaan para pembelajar yang dulu begitu digandrungi para pendahulu kita, seperti rihlah 2 dalam menuntut ilmu, berkunjung ke perpustakaan dan toko buku, mencatat ide-ide yang berserakan, dan masih banyak hal lainnya yang rasanya membuat kita sangat malu terhadap jiwa-jiwa kita, yang katanya, “pembelajar”.

                Sedikit penutup yang diambil dari salah satu pembahasan di bagian Cerdas dengan Menata Mental. Yaitu tentang menghadirkan obsesi dalam belajar. Suatu ketika, Imam Malik disambangi oleh Yahya bin Yahya dan para sahabtnya yang berasal darii Andalusia, untuk menggali ilmu darinya. Ketika pertemuan tengah berlangsung, seketika terdengar teriakan “Ada gajah! Ada gajah!” sontak para peserta majelis ilmu itu berhamburan ke jendela untuk melihatnya, meninggalkan Imam Malik dan satu orang lainnya: Yahya bin Yahya. Imam Malik lalu bertanya, “Mengapa kamu tidak ikut melihat gajah bersama yang lain? Bukankah gajah merupakan hal yang sangat langka di Andalusia?” Yahya bin Yahya lalu menjawab, “Syeik, saya datang jauh-jauh kesini dari negeri saya untuk bertemu anda, belajar dengan anda, dan meminta bimbingan anda. Bukan untuk melihat seekor gajah.”

                Begitulah. Hari ini, obsesi kita terhadap ilmu rasanya masih kerap tergadai oleh hal-hal kurang penting lainnya. Dan tentu, dibutuhkan semangat luar biasa tinggi dari kita untuk membentuk pribadi pembelajar seperti yang tertuliskan lengkap dalam buku ini. Beranjak dari pribadi pembelajar yang kita miliki, semoga mampu tercipta perubahan-perubahan besar untuk agama, bangsa, dan tentunya diri kita sendiri.
Categories: