Matinya Sekolah

Posted by EduwaUNJ on 23.41
oleh:




Penulis: Evereet Reimer

Disadari atau tidak, peradaban manusia modern kini terkungkung dalam penjara suatu kelembagaan yang di sebut sekolah. Kenangan apa yang kita rasakan pada saat bersekolah? Dimarahi guru-kah? Atau merasakan ngantuknya berangkat pagi-pagi dan lelah-nya pulang sekolah sore hari?.

Sekolah menjadi ikon dari pendidikan dan seolah-seolah pendidikan tidak lepas dari yang nama-nya sekolah. Tengok saja berita mengenai sekolah yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari media massa, lingkungan ahli pendidikan dan masyarakat pada umum-nya. Terhitung memasuki bulan Agustus 2014, Penerapan kurikulum 2013 sudah mulai di lakukan oleh sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Banyak pihak yang setuju dengan penerapan kurikulum ini tetapi tidak sedikit juga yang merasa belum siap dan menolak kurikulum ini. Meskipun banyak permasalahan yang terjadi: Mulai dari distribusi buku ajar kurikulum 2013 yang belum rata dan ngaret dari jadwal, jumlah jam mengajar guru yang semakin banyak sehingga ada beberapa sekolah yang harus memasukan guru honorer di dalam sekolahnya, pemahaman serta pelatihan guru yang kurang sehingga banyak guru yang tidak mengerti kurikulum 2013, sampai kepada fasilitas sekolah yang tidak mendukung terjadinya pembelajaran saintifik yang menjadi ciri khas kurikulum 2013 tetapi toh nyatanya sekolah-sekolah atas nama pendidikan tetap pasrah dan menerapkan juga kurikulum ini di sekolah.

Hal ini terjadi karena sekolah di anggap sebagai jalan satu-satunya masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Masyarakat menganggap sekolah sebagai candu sosial dan menggantungkan nasib hidup dan masa depan anak-anaknya pada pendidikan sekolah. Dipujanya sekolah sebagai harapan satu-satunya. Sehingga apapun yang dibentuk oleh sekolah terhadap anak-nya, mereka mempercayai  bahwa hal tersebut merupakan hal yang terbaik bagi anak-nya. Everett Reimer, salah satu tokoh dari golongan kritikus sistem pendidikan yang radikal, cukup jeli dalam melihat hal ini. melalui buku-nya yang berjudul School is Dead, Everett coba memberi gambaran kepada masyarakat tentang apa yang di perbuat oleh sekolah terhadap masyarkat sampai kepada kematian-nya.

Bagaimana Sekolah Bekerja?
Sekolah membutuhkan ketaatan untuk tetap hidup, karenanya sekolah membentuk pelajar agar manaati norma-norma untuk tetap hidup. Peraturan dibuat sedemikan rupa sehingga siswa harus berperilaku seperti apa yang diinginkan oleh sekolah. Kalau kita katakan bahwa sekolah mengajarkan persaingan, ini bukanlah kontradiksi. Memenangkan persaingan adalah salah satu bentuk ketaatan. Mungkin para guru secara sendiri-sendiri menaruh perhatian dalam bidang apa yang dipelajari anak-anak, tetapi sistem persekolahan hanya mencatat angka yang mereka peroleh.

Sistem peringkat/ranking di dalam kelas menambah suasana persaingan ini. Anak di ajarkan oleh sekolah untuk menjadi yang terbaik dari yang lain-nya serta orang tua mengharapkan anak-nya untuk menjadi yang terhebat di antara teman-teman yang lain-nya. Anak-anak yang belajar memenangkan persaingan sekolah menjadi pemeras dari masyarakat ini karena sudah di ajarkan sejak dini untuk mementingkan dirinya sendiri. Sekolah telah lama mengetahui bahwa cara terbaik agar anak-anak tidak berfikir adalah dengan membiarkan mereka sibuk dalam pelajaran, pekerjaan rumah, serta pekerjaan untuk tangan-tangan yang menganggur. Begini pulalah cara mengatasi serangan terhadap efesiensi sekolah: lebih banyak pelajaran, gelar, aktivitas, dan pendaftaran. Anak terus disibukan oleh aktivitas-aktivitas sekolah sehingga lupa dengan aktivitas bermain-nya. Anak diseragamkan secara sepihak oleh sekolah baik secara pakaian maupun pemikiran-nya. Semenjak dini anak sudah dikurung jiwa-nya untuk berimajinasi yang tidak sesuai dengan sekolah.

Lantas kita bertanya: Inikah kehidupan yang seharusnya di jalankan oleh seorang anak? Kehidupan di mana mereka semua di pandang sama dan tidak berbeda, penghianatan terbesar terhadap daya kreasi tuhan yang menciptakan makhluknya berbeda satu sama lain. Everett mengatakan bahwa ancaman yang paling mengerikan terhadap kita sekarang ini adalah suatu monopoli dan dominasi dalam pikiran manusia dan sekolah terbukti menjadi alat paling ampuh untuk melakukan hal tersebut.

Apa yang di perbuat oleh sekolah?
Sekolah dimaksudkan untuk mendidik. Inilah ideologi sekolah, tujuan umum sekolah. Sekolah-sekolah telah bergantung tanpa tantangan sampai akhir-akhir ini, sebagian karena pendidikan itu sendiri adalah suatu istilah yang berbeda-beda artinya bagi berbagai orang. Selain “mendidik”, sekolah juga menurut Everett melakukan “fungsi” lain yakni perwalian, penentuan status sosial, indoktrinasi, dan pencipta realitas sosial.

Fungsi pertama sekolah adalah perwalian dari rumah ke sekolah, dari orang tua ke guru. Perwalian ini sebenarnya tidak menjadi masalah selama sekolah dan keluarga tetap menjaga jalinan komunikasi guna mengembangkan potensi anak tetapi yang menjadi permasalahannya adalah ketika sekolah merasa memiliki wewenang penuh atas waktu dan kehidupan sang anak sehingga anak yang memiliki bakat dan waktu di luar keinginan sekolah seperti misal-nya sering bermain gitar di sekolah di anggap menganggu padahal jika dikembangkan lebih lanjut mungkin saja anak tersebut mampu menjadi bintang musik di kemudian hari.

Kondisi ini di perparah dengan pelemparan tanggung jawab orang tua yang seharusnya juga mendidik atau setidaknya mengamati perkembangan anak tetapi karena mereka merasa bahwa tugasnya bekerja dan mencari uang dirasa sudah cukup melaksanakan kewajiban sebagai orang tua sehingga menyerahkan sepenuhnya perkembangan anak ke sekolah tanpa turun tangan langsung mendidik anak-anak mereka.

Fungsi kedua sekolah adalah menentukan status sosial kehidupan anak di masa depan kelak. Seringkali kita melihat bahwa semakin rendah pendidikan seseorang semakin rendah pula pekerjaannya ataupun semakin tingginya nilai yang di peroleh sekolah semakin tinggi pula status sang anak di masyarakat. Umur pada saat keluar sekolah menentukan apakah anak itu akan dihargai tubuh, tangan dan otak mereka serta tentu saja berapakah mereka akan dibayar. Sekolah boleh dikatakan masih dominan sebagai satu-satunya penyedia karcis masuk seseorang untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan layak walaupun kalangan minoritas membuktikan bahwa tanpa sekolah bisa menjadi sukses seperti: pengusaha kreatif, manusia pembelajar (manusia yang berfikir imajinatif, bukan hasil penyeragaman pikiran sekolah).

Fungsi ketiga sekolah adalah pusat indoktrinasi manusia. Indoktrinasi adalah suatu perkataan yang buruk. Kita katakan sekolah-sekolah yang buruk itu mengindoktrinasi sedangkan sekolah-sekolah yang baik mengajarkan nilai dasar. Tetapi semua sekolah mengajarkan nilai masa kanak-kanak nilai persaingan dalam memperebutkan hadiah-hadiah kehidupan yang ditawarkan sekolah melalui nilai dalam pelajaran. Bukan belajar sendiri tentang apa yang baik, apa yang benar. Disekolah nilai-nilai mempergunakan tubuh, bahasa, dan emosi dikendalikan. Tentang apa, bilamana, dimana dan bagaimana belajar semua ditentukan oleh orang lain. Anak-anak mendapat pelajaran bahwa baik bila mereka menggantungkan diri pada orang-orang yang mengajar mereka. Mereka mempelajari bahwa yang berharga ialah sesuatu yang di ajarkan oleh guru tanpa tahu baik dan benar-nya, anak-anak diajarkan untuk menyesuaikan diri dalam sistem tersebut.

Fungsi keempat sekolah adalah pencipta realitas sosial. Sebelum ada sekolah terdapat pengasuh anak, pelatih senam yang melatih praktek dan ahli-ahli dengan segala peraturan-nya. Di antara ketiganya, tidak ada seorang pun yang berpendapat bahwa belajar itu tumbuh dari mengajar, sedangkan sekolah memperlakukan belajar belajar sebagai hasil dari mengajar. Peranan guru sekolah sebagai wasit dan hakim. Sebagai wasit, guru mengatur jawaban mana yang benar atau salah, menetapkan angka-angka dan memutuskan soal kenaikan. Sebagai hakim, guru menyimpulkan kesalahan-kesalahan pada mereka yang tidak mengerjakan PR dan melanggar norma-norma sekolah.

Sekolah memperlakukan manusia dan ilmu pengetahuan persis seperti dunia teknologi memperlakukan segala hal yang seolah-olah semuanya dapat di proses. Tentu saja, segala sesuatu dapat di proses, tetapi hanya dengan biaya yang sebagian berarti mengabaikan aspek-aspek tertentu dan hasil-hasil sampingan tertentu dari proses itu. Harga memproses manusia secara intristik adalah tinggi. Manusia berkecendrungan untuk melawan. Apa yang harus tetap tidak di proses mungkin adalah bagian terpenting dari orang itu. beberapa hasil samping dari pentingnya pendidikan sudahlah jelas. Tetapi bahayanya yang terbesar terletak dalam proses keberhasilannya. Rasa kemanusiaan yang telah diproses dengan sukses akan kehilangan kendali atas masa depannya yang selalu membedakan manusia dengan benda-benda lain di dunia.

Menyimak sebuah karya dari Everett Reimer ini sudah sepatutnya kita harus berfikir ulang mengapa banyak manusia-manusia yang sebenarnya mampu dan unggul tergerus oleh sistem sekolah hanya karena tidak sesuai dan tidak memenuhi persyaratan. Spesialisasi kepemilikan alat pendidikan yang mayoritas dimiliki dan di dominasi oleh sekolah membuat tidak meratanya pendidikan serta kesempatan orang di luar jalur sekolah memperoleh hak-nya.

Pendidikan untuk semua hanya dapat diperoleh dan dicapai jika memang benar-benar alat pendidikan beserta berbagai macam sarana prasarana-nya dimiliki oleh semua orang tak terkecuali. Sekolah berpendapat bahwa model paling ideal dalam pembelajaran adalah seorang guru. Memang benar bahwa guru berperan dalam proses pendidikan manusia tetapi bukan satu-satunya penentu sukses-nya pendidikan seseorang. Guru hanya bagian dari sebuah rantai pembelajaran di dalam masyarakat yang saling terkait satu sama lain.

Guru hanya jabatan formalitas yang diciptakan oleh sekolah. Semua orang dapat menjadi guru entah itu sahabat, orang tua, tukang sapu, tukang cendol, tukang bajigur, bahkan diri kita sendiri mampu menjadi guru bagi orang lain maupun pribadi sendiri selama mampu memberikan pelajaran yang berharga dan bermanfaat bagi orang lain. Sekolah menimbulkan hambatan bagi jaringan pembelajaran manusia karena mengkotak-kotakan mereka dalam suatu lingkup tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Pendidikan harus menyediakan teman-teman belajar karena belajar pada dasarnya berarti suatu tindakan individu menjadi seorang manusia (diri sendiri dan orang lain).
Categories: