Bumi Manusia
Posted by EduwaUNJ on 11.02
oleh: Awalien Dhea Syafitrie
BUMI MANUSIA
Bicara tentang
dunia ini, tentang bumi, tentu saja tidak akan terlepas bicara tentang sang
manusia. Manusia yang tinggal di dalamnya, makan, minum, bekerja, belajar,
membangun budaya, mengembangkan ilmu pengetahuan, yang muda maupun yang tua,
yang semangat bergerak ataupun yang hanya berhias santai menunggu ajal. Inilah
yang ingin Pram angkat dari salah satu karya besarnya, Bumi Manusia.
Bumi Manusia,
adalah roman pertama dari Tetralogi Pulau Buru Karya Pramoedya Ananta Toer,
yang buku selanjutnya Anak Semua Bangsa, Jejak langkah, dan Rumah Kaca.
Bumi Manusia ini
mengambil sudut pandang Minke, seorang pribumi berdarah priyayi yang sangat
terpelajar. Berkat jabatan Nenenda-nya, Minke dapat bersekolah di HBS, sekolah
menengah Belanda yang bergengsi pada saat itu. Namun, disinilah awal mula semua
terjadi. Karena didikan dan pandangannya yang sangat maju, seperti selayaknya
pribadi Eropa, Minke tidak mau mempertahankan kebudayaanya yaitu Jawa.
Menurutnya kebudayaan sembah menyembah (hormat kepada yang lebih tua dan kepada
yang dituakan atau mengagungkan seseorang) adalah suatu penghinaan diri.
Berawal dari
ajakan Robert Surhoof, teman sekolah Minke, Ia mengenal dunia baru di
Wonokromo. Disanalah tinggal keluarga Mellema. Nyai Ontosoroh dan kedua anaknya,
Robert Mellema dan Annelies Mellema. Awalnya Surhoof ingin mempermalukan Minke
dihadapan Robert Mellema kawannya, dan keluarga Mellema yang lain, namun
usahanya bertolak belakang dengan apa yang terjadi. Nyai Ontosoroh dan Annelies
memperlakukan Minke dengan sangat baik.
Nyai Ontosoroh
alias Sanikem, adalah Gundik atau selir dari seorang Belanda, Tuan Mellema.
Sanikem dipaksakan menjadi Nyai (sebutan untuk selir) oleh ayahnya yang menjual
dirinya kepada Tuan Mellema. Hal ini menyebabkan kebencian yang amat sangat
terhadap Ayahnya, namun Ia tak dapat melakukan apa-apa. Pun sama dengan Ibunya,
Ibu dari Sanikem pun juga hanya bisa menuruti apa yang diingini oleh suaminya
terhadap anaknya.
Kebencian Nyai
Ontosoroh terhadap Ayah dan Ibunya, digunakan sebagai alasan untuk memerangi
ketakutannya menghadapi kenyataan, menghadapi keputus-asaan menjadi gundik,
menjadi selir seorang Belanda! Strata social yang menjadikan para gundik
pribumi berada di paling bawah ini tak lantas membuat Nyai Ontosoroh terlarut
dalam kepiluan. Melalui Tuan Mellema, Nyai Ontosoroh belajar membaca, menulis
dan berhitung. Bukan sebatas itu saja, Ia juga membaca sastra koleksi suaminya.
Hal itu Ia lakukan untuk dapat diakui sebagai manusia seutuhnya, bukan seorang
Gundik! Hingga akhirnya intelektualitasnya mengubah pandangan orang-orang
terhadap pribumi, apalagi seorang Nyai. Lebih-lebih lagi, Nyai Ontosoroh turut
membantu dan dipercaya memegang perusahaan di Wonokromo milik suaminya.
Seiring
berjalannya waktu, akibat dari pertemuan pertama Minke dengan keluarga Mellema,
lebih tepatnya dengan Nyai Ontosoroh dan Annelies. Hubungan Minke dan Annelies
semakin dekat hingga akhirnya mereka jatuh cinta. Nyai Ontosoroh pun tak
melarangnya, lebih tepatnya mendukung. Sampai Nyai Ontosoroh meminta Minke
untuk tinggal di Wonokromo yang diiyakan oleh Minke.
Namun, tak selang
beberapa lama. Kontroversi dan silang pendapat muncul dimana-mana, teman-teman,
sekolah, hingga sampai terdengar di telinga Bupati B. Minke tinggal di rumah
seorang Nyai! Sungguh, pada saat itu keadilan di kalangan masyarakat sangat
memprihatinkan. Hingga akhirnya Minke dijemput oleh polisi dan dibawa ke tempat
Bupati B, yaitu kota Ayahnya. Disanalah Minke unjuk gigi menjadi penterjemah
saat Ayahnya dilantik menjadi Bupati. Membuat Ia dikenal oleh pembesar di
daerah tersebut. Namun, keberadaannya yang sekarang membuat Minke tidak dapat
berhubungan dengan Nyai Ontosoroh dan gadis manisnya, Annelies.
“Seorang terpelajar harus belajar
berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Ucapan Jean Marais
kepada Minke.
Kalimat
di atas adalah kalimat yang selalu diingat oleh Minke saat berhadapan dengan
orang dihadapannya, saat membaca dan menanggapi surat-surat yang diterimanya,
ataupun saat ancaman dan tantangan menghadangnya.
Annelies sakit, sakit
karena merindukan sosok Minke didekatnya, pelindung diri dan jiwanya.Alasan
inilah yang membuat Minke pulang dan akhirnya mengawini gadis pujaan hatinya.
Beberapa saat
kemudian, masalahpun akhirnya menghadang. Ada yang mencoba membunuh Minke,
adegan kejar-mengejar antara Minke, Darsam (tangan kanan Nyai Ontosoroh), dan
Calon pembunuh Minke membawa mereka ke rumah pelesiran Babah Ah Tjong. Dan saat
itulah ditemukan mayat Tuan Mellema menggeletak terbujur kaku di lantai. Tuan
Mellema keracunan. Setelah diadakan pengadilan rumit yang dihadiri oleh
saksi-saksi dan Nyai Ontosoroh sendiri, diputuskan Babah Ah Tjong bersalah dan
dipenjara.
Nyai Ontosoroh
dan Minke rupanya belum bisa menghirup udara segar. Kematian Tuan Mellema
mengundang permasalahan yang lain. Istri sah dari Tuan Mellema menuntut harta
warisan dan hak wali sah atas Annelies yang masih di bawah umur. Pengadilan
antara Pribumi dan Kulit Putih diselenggarakan. Segala usaha dan doa
dikerahkan. Dan yang tak boleh lupa adalah Menulis. Minke melawannya dengan
pikirannya. Dengan gagasan dan pandangannya yang disertai dengan kebenaran.
Melalui tulisan di Koran-koran yang juga di bantu Kommer (Jurnalis) berhasil
mempengaruhi Pribumi berempati terhadap pertarungan antara Nyai Ontosoroh dan
Minke dengan Istri Tuan Mellema. Namun akhirnya, mereka memang harus mengakui
kekejian pengadilan kulit putih. Mendatangkan Advokat secerdas apapun tidak
akan bisa menang. Annelies harus terbang ke Belanda. Semuanya luluh lantak.
Cinta Minke berlatar lara, menumbuhkan harapan, namun kisah cinta nya tak
selalu berakhir bahagia.
Buku ini
menitikberatkan betapa kesenjangan social menjadi siksaan terhadap masyarakat
Indonesia. Pelanggaran hak-hak dan ketidakadilan. Merasa asing berada di rumah
sendiri. Dengan buku ini, kita
diingatkan bahwa semua orang mempunyai hak yang sama dan orang lain harus
menghormati hak-hak tersebut tanpa melihat status, jabatan, suku, bangsa,
maupun jenis kelaminnya. Dengan kata lain, semua orang di dunia ini sama dan
tidak ada apa pun yang dapat membedakan mereka.
Dalam buku ini
juga disampaikan bagaimana perjuangan yang dilakukan oleh tokoh tidak berjalan
sesuai dengan harapan, karena perjuangan tidak hanya dilihat dari hasil
akhirnya. Proses perjuangan juga hal penting yang merupakan penentu
keberhasilan. Dan melalui tulisan yang bermutu Tokoh melakukan perlawanan.
Tulisan yang bermuatan adalah salah satu jalan perjuangan yang akan menggerakan
banyak fikiran dan mempengaruhi orang-orang yang membacanya.
Buku ini juga
mengangkat pentingnya pendidikan, karena hanya dengan melalui fikiran dan
intelektualitaslah kita dapat keluar dari ruang gelap gulita tanpa cahaya.
Meski dalam keterbatasan, tidak perduli apa kata orang, kita harus tetap
belajar. Dan yang terakhir, buku ini dapat
memenuhi hasrat untuk menambah wawasan dan semangat perjuangan di bidang
jurnalis.
Categories: ayo baca
