Kekerasan di Layar Kaca

Posted by EduwaUNJ on 18.51

Oleh: Kurnia Ismi T

Punya televisi di rumah? Pasti jawabannya iya. Mungkin bahkan lebih dari satu ya. Sedikit memanggil ingatan suatu program kuis khusus yang mendatangi rumah – rumah bahkan hingga pelosok – pelosok untuk membagi – bagikan televisi. Apa yang terjadi setelah itu? Televisi bukan termasuk kategori barang mewah saat ini, tapi wajib ada dalam satu rumah.

Dalam 24 jam, berapa lama anda menghabiskan waktu di depan televisi? Ketika prime time (pukul 18.00-21.00)? Survey dari Nielsen pada 2012 di Jakarta cukup mencengangkan: rata – rata pemirsa menghabiskan waktu lebih dari 5 jam menonton acara – acara di televisi. Padahal lebih dari 4 jam saja sudah tergolong heavy viewer (pemirsa yang menonton dalam jangka waktu terpaan yang lama). Heavy viewer sangat berpotensi untuk sulit membedakan mana yang realita mana yang isu. Percampur bauran antara realita dan isu ini disebut dengan simulakra. Ketika televisi memasuki ruang publik, maka apa yang dipaparkan akan ditelan mentah – mentah menjadi kebenaran. Kemudian publik lupa, atau bahkan tidak tahu bahwa yang ditampilkan bukan lagi refleksi dari kenyataan, melainkan kenyataan yang tersunting. Proses reproduksi lah yang kemudian luput dari pengawasan publik.

Misalnya demonstrasi, atau profil - profil pemuda atau buruh yang sedang orasi. Kerusuhan dimana - mana, kejahatan merajalela, penganiayaan, pelecehan. Ketika terus - menerus kita menonton hal - hal tersebut, kita kan menganggap hal - hal negatif yang ditampilkan di televisi adalah hal yang biasa. Homogenisasi budaya juga terjadi, maka muncullah teori Kultivasi. Karena jalinan komunikasi yang berlangsung searah, jadinya seperti memandang dunia dengan sudut pandang yang sama.

Setelah membaca buku ini, ada beberapa pemahaman dan pelajaran. Dalam dunia pendidikan, televisi memang membawa sedikit manfaat: pengetahuan. Secara praktis, iya membantu. Namun, saat ini, daripada manfaat, jelas lebih terasa kerugiannya. Karena pada akhirnya, daripada merogoh kocek untuk membeli buku untuk dibaca, masyarakat lebih memilih untuk menghadirkan kotak ini di ruang keluarga. Perlu banyak pembenahan jika masih ingin mempertahankan aktivitas menonton televisi, salah satunya pendampingan orangtua.
 

Berharap tidak terlalu banyak pada penguasa media pertelevisian karena daripada tanggungjawab social, media pertelevisian swasta lebih menjunjung keuntungan materi. Prime time mengeksploitasi tayangan yang disebut sebagai hiburan. Demi mengejar ratting, karena ratting dipercaya akan meraup ketertarikan pengiklan sebanyak – banyaknya. Dan itu membawa keuntungan materi perusahaan. Saya lebih memilih untuk menjadi khalayak aktif daripada pasif. Yakni selektif dalam mengkonsumsi apa saja yang akan saya serap. Demokrasi memang mengharuskan masyarakat untuk secara cerdas mandiri memilih dan menyeleksi tayangan. Kembali pada diri sendiri, karena remote kita yang pegang. Maka, silakan baca buku ini untuk paham regulasi penyiaran dan bagaimana posisi perusahaan, khalayak, KPI, kepolisian, dan pemerintah.

Aktifkan remote kesadaran dan kontrol diri kita. Teknologi akan membawa kebaikan tergantung penggunanya.
 

Salam Gemasada (gerakan masyarakat sadar media)    

Categories: