Perang Bubat, Tragedi di Balik Kisah Cinta
Posted by EduwaUNJ on 09.51
Penulis : Aan Merdeka Permana
“ Aku tak menyalahkan siapa-siapa, yang paling berdosa dalam kejadian ini adalah nafsu serakah karena menginginkan dirinya paling besar. Peristiwa di Bubat, menurutku, hanyalah sebuah cadar sebagai penutup rasa bersalah. Lalu kesalahan itu disudutkan kepada seseorang agar yang lain terbebas dari tudingan.” - Sri Baduga Maharaja, Raja ke-1 Pajajaran.
Perang Bubat adalah perang antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Sunda. Ketika itu kedua kerajaan tersebut merupakan kerajaan yang sangat besar, Majapahit dengan kebesarannya mampu menguasai banyak wilayah, dan Sunda kerajaan bebas dan juga makmur dengan daerah yang subur. Strategi membangun kekuatan yang besar di Nusantara dilakukan dengan upaya hubungan perkawinan, yaitu antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka, namun pecah akibat adanya intrik dan konspirasi politik, hingga pertumpahan darahpun tak terelakkan lagi.
Perang Bubat yang masih merupakan sindrom masyarakat sampai saat ini. Pertumpahan darah yang berimplikasi pada hubungan etnik Jawa – Sunda yang masih bergulir sampai saat ini. Implikasi tersebut bisa dilihat bahwa tidak akan ditemukan jalan Hayam Wuruk di tanah parahyanagn ( Sunda ) ataupun jalan Pajajaran di daerah Jawa ( Jawa Tengah dan Timur ).
Begitu besarnya dampak dari Perang Bubat tersebut, sehingga banyak memakan korban tidak terkecuali kekasih Raja Hayam Wuruk sendiri yaitu Putri Dyah Pitaloka.
Perang Bubat memiliki versi yang berbeda-beda dalam menceritakanya tergantung dari perspektif mana.
Buku ini hadir dengan cara yang berbeda, hadir dalam bentuk novel yang sangat ringan namun sarat akan fakta.
Dari buku ini bisa kita ambil hikmah bahwa ambisi dan juga nafsu serakah untuk menguasai dunia yang fana ini akan berakibat fatal, tidak hanya diri sendiri bahkan orang lain. Demi memeproleh kekuasaan, seseorang rela melakukan konspirasi politik, sehingga yang benar bisa menjadi salah ataupun yang salah bisa menjadi benar.
Karena sejarah membicarakan manusia sebagai objek dan subjek tidak heran jika sejarah sukar menghilangkan subjektifitasnya. Penulisan sejarah sangat bergantung pada siapa yang berkuasa.
Seperti kata-kata sakti dari The Founding Father kita, yaitu Sukarno, Jangan sekali-kali merupakan sejarah ( JAS MERAH ). History vitae magistra, karena sejatinya sejarah adalah guru kehidupan, dengan berpijak pada masa kini kita melihat masa lampau untuk mengukir masa depan yang lebih baik dan indah.
Oleh : Nur Hayati
Categories: ayo baca
